Guru besar di Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum UIN Suska Riau
Mana suara kampus Pak? Begitulah bunyi sebuah pertanyaan yang muncul dari mulut seorang dokter spesialis setelah selesai memeriksa saya berapa hari yang lalu. Mula-mula ia menyampaikan hasil pemeriksaannya terhadap kesehatan saya yang dinilainya baik, hanya asam lambung saja yang naik. Pertanyaan itu ia ajukan setelah terlebih dahulu melontarkan pertanyaan pendahuluan, “apakah Bapak terpengaruh dengan situasi dan kondisi negara sekarang?” Saya jawab, “benar, saya sangat terpengaruh.” Ia kemudian berkata, “saya ini kan dokter, tapi asam lambung saya sedang tinggi sekarang. Risau saya melihat runyamnya masalah yang menimpa negeri ini, seperti tidak ada habisnya.” Lalu, akhirnya, ia mengajukan pertanyaan seperti di atas.
Sebagai orang kampus, tentu saya tersentak dan bahkan tertantang dengan pertanyaan seperti itu. Bagaimana tidak? Sudah sekian lama negeri ini dilanda masalah, sejak yang paling kecil sampai yang paling besar, tetapi belum didengar ada suara yang mengatasnamakan kampus tempat para ilmuan dan orang-orang terpelajar berkumpul setiap hari, menawarkan solusi sebagai buah kajian kajian ilmiah untuk persoalan bangsa yang sedang dihadapi. Seakan-akan, kampus adalah suatu dunia, sementara negara dan bangsa Indonesia adalah dunia yang lain. Kampus seakan tidak perlu mengurus apa yang ada di luar dirinya, karena sudah ada orang lain yang akan mengurusnya. Kampus cukup memikirkan dirinya saja, tidak perlu terlibat dengan hiruk pikuk politik di luar sana. Jangan campur adukkan dunia pendidikan dengan dunia politik. Atau memang ada regulasi yang sengaja dibuat agar kampus diam dan bungkam, ikut saja apa yang dilakukan oleh pihak penguasa negeri karena ia memang didanai oleh sang penguasa. Kampus cukup “melenggang lenggok” ikuti irama yang ditabuh oleh siapa yang sedang berkuasa, kalau ingin berumur lama, kalau tidak ingin dicabut “tali akinya”.
Apapun alasannya, kealpaan kampus memang membuat masyarakat sangat prihatin. Memang, secara individu, satu, dua atau beberapa “orang kampus,” atas dasar tanggung jawab moral telah melibatkan diri untuk ikut bicara memberikan solusi yang mereka anggap baik, tetapi suara mereka seperti orang bersorak di tengah hutan belantara, hilang ditelan lebat dan rimbunnya pohon di hamparan yang sangat luas. Mereka payah bersuara, tetapi tidak ada yang mendengar. Didengar pun hanya oleh flora dan fauna yang hanya asyik dengan dunianya masing-masing. Bahkan, si pesorak pun bisa terancam keselamatannya bila dirasa mengusik ketenganan oleh binatang buas yang haus daging dan darah. Yang diharap oleh masyarakat bukan hanya “orang kampus” sebagai manusia perseorangan, tetapi kampus sebagai institusi yang di dalamnya banyak orang-orang hebat, orang-orang terhormat, orang-orang yang tahu apa arti harkat dan martabat.
Kalau kumpulan orang hebat dan terhormat saja tidak bisa berbuat, maka apatah lagi orang-orang kebanyakan yang setiap hari bergulat dengan kehidupan yang semakin berat. Akibatnya, penyakit bangsa semakin kumat. Keprihatinan semakin menjadi-jadi menimpa umat dan bangsa di semua sektor, sosial, ekonomi, politik, hukum, budaya, dan bahkan agama dalam arti yang lebih luas. Ilmu pengetahuan dan kaidah-kaidah keilmuan terasa hampir-hampir tidak berguna dan diabaikan. Semua menjadi mainan politik. Sepertinya, negeri ini betul-betul hanya mau diserahkan kepada “orang politik.” Ilmuan atau “orang kampus” tidak usah ikut campur. Tinggal dan hidup sajalah di kampus. Para ahli agama, ulama atau pendeta, tinggal sajalah di masjid atau gereja, tidak usah ikut campur urusan negara. Urusan negara adalah urusan politik, serahkan saja kepada “orang politik.”
Ya, politik, dengan segala hal yang bersangkut paut dengannya seakan telah menjadi nafasnya bangsa dan negara. Seluruh sektor kehidupan telah dimasuki, seperti orang yang kemasukan angin dan naik asam lambungnya seperti disebut dokter saya di atas. Seluruh ruang dan sendi tubuh bangsa telah digerayangi, mulai dari pemikiran sampai kepada perilaku sosial, sejak dari yang paling elite di perkotaan sampai rakyat kecil di pedesaan, sejak orang awam sampai kaum terpelajar yang berada di kampus-kampus ilmu pengetahuan itu sendiri. Bahkan, dunia keulamaan pun terkesan ikut terbawa arus, sehingga secara berangsur namun pasti, masyarakat mulai kehilangan keteladanan dan gamang menghadapi tantangan hidup.
Setiap kelompok yang ada di tengah-tengah masyarakat seakan berlomba hanya untuk membesarkan kelompok-kelompoknya sendiri untuk merebut keuntungan-keuntungan tersendiri pula, politis maupun materi. Seakan masing-masingnya telah menjadi anak partai, anak kelompok atau anak alirannya, dan lupa bahwa mereka adalah anak-anak bangsa atau anak-anak umat yang seharusnya bertanggung jawab akan keberlangsungan hidup bangsanya sendiri di masa datang. Dunia pendidikan yang seharusnya bebas dari pengaruh-pengaruh seperti itu pun sudah ikut terkena “naiknya asam lambung.” Politik kekuasaan dan materi muncul menjadi orientasi hidup, sehingga rasa kebersamaan dan empati semakin menipis dan tergerus secara signifikan.
Lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang sejatinya mengemban tugas serta berdiri untuk kepentingan semua golongan dalam arti yang seluas-luasnya, justru banyak yang berubah menjadi lembaga-lembaga profit untuk mengejar keuntungan-keuntungan jangka pendek yang tidak lepas dari pengaruh politik juga. Kampus perguruan tinggi yang pada hakikatnya adalah “kampung” ilmu dan orang-orang berilmu yang bertugas menggali dan mengembangkan ilmu pengetahuan demi kepentingan bangsa dan negara, tidak sedikit yang justru hanyut dibawa arus “badai” politik praktis dan kehidupan material lain yang menghilangkan kesan sebagai centre of excelence. Semua terus menggejala dari waktu ke waktu, sehingga akhirnya hampir tidak tersisa lagi wadah yang benar-benar dapat dijadikan tempat merembug, berpikir dan bergerak bersama mencari dan menemukan solusi untuk persoalan-persoalan keumatan dan atau kebangsaan, lokal maupun nasional.
Oleh sebab itu, walau sudah hampir terlambat, kampus tidak boleh diam. Kampus harus merdeka dari berbagai tekanan. Kampus harus mandiri dalam mencari solusi buat negeri. Kampus sebagai kampungnya orang yang sudah tercerahkan harus berdiri di depan menjadii penerang dan pencerah di tengah gelapnya kehidupan bangsa, bukan justru masuk dan akhirnya tergelapkan oleh dunia di luar yang sedang dibalut kegelapan. Kampus tidak boleh diam, karena diamnya orang berilmu akan membuat orang jahil semakin merajalela. Kampus tidak boleh takut, karena takutnya orang berilmu membuat orang-orang jahat semakin berleluasa. Bukankah sejarah telah membuktikan bahwa kehancuran suatu kaum bukan karena banyaknya orang jahat, tetapi karena banyaknya orang berilmu yang diam membisu di dalam kaum itu. Bukankah hidup itu bermakna perjuangan? Bukankah adanya bangsa dan negara Indonesia yang kita diami hari ini adalah buah perjuangan? Atau, bisakah kita menikmati negeri indah yang kaya raya dan merdeka ini tanpa perjuangan dan pengorbanan ulama dan kaum terpelajar dahulu?
Bisakah kita bayangkan apa yang akan terjadi kepada kita hari ini bila mereka diam membisu di hadapan kaum penjajah kafir yang semena-mena menjajah dan “melapah” wilayah yang kini bernama Indonesia? Bukankah kemerdekaan ini buah dari kerja sama yang begitu heroik antara para cerdik pandai kaum terpelajar di panggung intelektual dan diplomasi politik, ulama dengan ilmu dan hikmahnya di tengah–tengah umat bersama pedang, kelewang dan bambu runcing, kaum ibu dengan dapur umum penyedia komsumsi di medan perang, yang semuanya bahu membahu di bawah arahan para cendekiawan yang sudah tercerahkan sebagai orang-orang terpelajar?
Maka, kampus tidak boleh menjadi menara gading tempat bersemayamnya orang-orang bertitel, tetapi menara mercu suar yang akan menerangi gelapnya lautan malam yang penuh gelombang dan bahaya yang selalu mengancam. Semoga.***
Diposkan oleh Tim Liputan Suska News
Dikutip dari Riau Pos Edisi Selasa, 11 April 2017