Dosen Komunikasi Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Suska
Ramadan adalah bulan penuh keberkahan. Bulan yang agung dan suci karena di bulan ini begitu banyak kebaikan yang tidak hanya menjadi wacana tetapi nyata hadir di kehidupan kita sehari-hari. Kehadiran bulan ini tentu saja menjadi berkah karena hampir semua umat muslim berlomba berbuat baik. Silaturahmi terjalin hampir setiap waktu, masjid menjadi pusat atau sentral kegiatan keagaaman selama sebulan penuh.
Tidak hanya ada Salat Tarawih tetapi juga salat wajib, tadarus Alquran dan lain-lain kegiatan yang pada intinya menunjukkan kebersamaan atau keindahan berjemaah seperti berbuka bersama, atau sahur bersama. Harmoni sosial yang seperti ini sebenarnya adalah sesuatu yang jarang kita temukan di bulan-bulan lain.
Hanya saja sebagai bulan yang suci, Ramadan tak luput dari berbagai penyimpangan yang menjadi ujian bagi kita semua. Perilaku menyimpang yang juga biasa dikenal dengan nama penyimpangan sosial adalah perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan atau kepatutan, baik dalam sudut pandang kemanusiaan (agama) secara individu maupun pembenarannya sebagai bagian daripada makhluk sosial.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia perilaku menyimpang diartikan sebagai tingkah laku, perbuatan, atau tanggapan seseorang terhadap lingkungan yang bertentangan dengan norma-norma dan hukum yang ada di dalam masyarakat. Berbagai penyimpangan itu ada yang bersifat primer atau sementara dan masih bisa ditolerir oleh masyarakat dan ada yang bersifat sekunder.
Pembiaran baik pada penyimangan primer atau sekunder sesungguhnya tetap saja akan membuat kesucian bulan Ramadan akan terganggu atau bisa membuat kegaduhan di tengah masyarakat. Adapun beberapa penyimpangan sosial yang terjadi di bulan Ramadan antara lain: Pertama, membunyikan petasan atau mercon di malam hari. Bagi sebagian orang membunyikan petasan dianggap sebagai sebuah upaya untuk menyemarakkan bulan Ramadan, akan tetapi kalau kita mau jujur akan sangat banyak warga yang tidak setuju dengan letusan petasan yang membuat bising telinga dan sudah pasti mengganggu kekhusyukan orang yang sedang menjalankan ibadah. Di samping mengganggu mercon juga bisa mengganggu orang sakit, warga yang butuh ketenangan untuk beristirahat, atau bayi yang ingin tidur dengan nyenyak. Celakanya mercon yang dulu hanya menjadi mainan anak-anak kini juga dimainkan oleh orang dewasa. Sadar atau tidak kita sudah mendidik anak-anak untuk bermain petasan, sesuatu yang dulu asing itu menjadi kebiasaan di sini, dan ketika petasan bergema di dekat tempat ibadah seperti masjid kita marah, padahal dengan kita membiarkan mereka selama ini secara tidak sadar kita juga sudah memberi ruang buat untuk berbuat menyimpang. Ketegasan pemerintah dan masyarakat tentu dibutuhkan dan untuk mengatasi hal ini tidak cukup hanya dengan sebatas imbauan tetapi perlu ada tindakan tegas mulai dari hulu sampai hilirnya.
Kedua, melakukan perbuatan mesum. Bulan Ramadan yang suci ternyata bukan hanya membuat orang berlomba berbuat baik, tetapi juga membuat sebagian orang tidak tahan untuk tidak bermaksiat. Ditangkapnya puluhan pasangan di berbagai kota di wisma atau hotel yang menginap tanpa surat nikah adalah sebuah hal yang memprihatinkan. Di samping itu juga ada yang memanfaatkan kepergian warga atau tetangga ke masjid untuk berselingkuh di rumahnya juga adalah perbuatan tercela yang tak kalah banyak di bulan puasa. Penyimpangan seperti ini tentu bukan hal yang bisa ditolerir, sudah saatnya semua kalangan untuk terlibat dalam pemberantasan penyakit yang seperti ini, karena sebagian pelaku mesum itu adalah remaja yang akan melanjutkan peradaban bangsa dan agama ke depan. Jika generasi kita sudah tercoreng dengan perbuatan tercela seperti itu maka tentu bisa dibayangkan bagaimana generasi sesudah mereka. Meski harus diakui ada beberapa komunitas remaja yang menjalankan puasa dan mampu menyemarakkan kegiatan Ramadan dengan kegiatan positif, namun tidak mengurangi perhatian dan pengawasan kita terhadap anak-anak terutama yang masih remaja dan belum menikah.
Ketiga, menjual makanan berbahaya. Jamak diketahui atau sudah menjadi rahasia umum bahwa kedatangan Ramadan selalu diikuti dengan konsumsi makanan yang tinggi. Padahal sejatinya dengan berkurangnya jadwal makanan menjadi dua kali sehari yakni berbuka dan sahur belanja untuk makanan bisa ditekan, akan tetapi yang terjadi justru belanja bulan Ramadan bisa menggila karena tidak hanya makanan pokok berupa lauk dan nasi saja yang dibeli tetapi juga ada aneka minuman, penganan kecil semisal kue, atau kolak dan ragam kuliner lainnya. Tingginya permintaan atau pencarian makanan ini terutama menjelang berbuka puasa membuat munculnya penyimpangan di sebagian masyarakat kita yang dari pedagang untuk menjual makanan atau minuman yang tidak sehat atau bahkan menggunakan zat-zat yang berbahaya bagi orang yang memakan atau meminumnya. Tujuannya jelas dengan menggunakan zat-zat itu makanan akan lebih tahan lama, sehingga kalaupun tidak laku masih bisa dijual atau karena harganya lebih murah daripada zat-zat yang tidak berbahaya. Prinsip ekonomi dengan modal dan resiko kerugian yang sekecil-kecilnya untuk meraih keuntungan yang sebesar-besarnya berlaku di sini. Masyarakat tentu perlu disadarkan dengan pengetahuan soal makanan yang boleh dimakan atau diminum dengan yang tidak. Di samping itu tindakan terhadap pelaku penyimpangan makanan dan minuman ini juga harus tegas, tidak hanya dengan teguran karena kejadian ini sering terjadi setiap tahun.
Keempat, beredarnya uang palsu. Bulan Ramadan secara ekonomi sangat bernilai bagi para pelaku perdagangan. Di bulan ini permintaan akan barang dan jasa akan meningkat tajam karena muara dari itu semua adalah hari raya Idul Fitri atau lebaran. Keperluan akan aneka barang dan jasa itu otomatis juga akan membuat meningkatnya kebutuhan orang akan uang, karena untuk membeli barang harus ditukar dengan uang. Uang palsu kemudian menjadi penyimpangan berikutnya yang sering terjadi di bulan Ramadan karena miskinnya iman seseorang dengan memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat akan uang asli. Kampanye tentang uang palsu dan penindakan terhadap pelaku selama ini ternyata juga tidak cukup untuk meredam beredarnya uang palsu tersebut. Di sini kehati-hatian dan pengawasan penting untuk mutlak dilakukan oleh semua kalangan.
Kelima, hadirnya para pengemis musiman. Bulan Ramadan yang agung memang dijadikan untuk beramal ibadah. Amal itu tentu saja tidak hanya berupa puasa dan salat saja. Di bulan ini orang juga berlomba untuk bersedekah kepada para fakir miskin. Kondisi inilah yang dimanfaatkan kadang-kadang oleh segelintir orang untuk mengemis dengan harapan dapat memperoleh sumbangan atau santunan yang lebih dari para hamba yang ingin beramal itu. Yang menyimpang dari perangai pengemis ini adalah bahwa mereka tidak semuanya benar-benar miskin, sebagiannya malah ada yang diduga punya rumah bagus dari hasil menjadi pengemis. Artinya ada di antara para pengemis itu yang sebenarnya tidak layak mengemis. Para pengemis musiman ini biasanya juga dikoordinir oleh orang tertentu sesaat menjelang Ramadan berakhir, mereka biasa hadir di dekat pusat perbelanjaan dalam jumlah yang banyak berharap uluran tangan para penderma dalam bentu uang. Pengemis yang eksekutif juga banyak yakni yang suka meminta-minta Tunjangan Hari Raya kepada orang-orang berduit walaupun mereka tidak bekerja di perusahaan orang tersebut. Pengemis seperti ini biasanya minta lebih banyak daripada pengemis di pinggir jalan. Tak jarang orang yang diminta terganggu atau tak tenang dengan kehadiran mereka. Beramal yang tadinya berniat tulus dan ikhlas menjadi terpaksa karena terganggu oleh para peminta-minta itu.
Penyimpangan-penyimpangan ini sesungguhnya bisa diminimalisir atau bahkan diberantas jika kita mau berpartisipasi aktif untuk mengawasi atau menindak pelakunya. Sehingga dengan demikian Ramadan benar-benar menjadi bulan yang bersih dalam arti bersih dari perbuatan tercela dan mengganggu ketenteraman masyarakat.
Diposkan oleh Tim LIputan Suska News