Hasil penelitian salah satu lembaga riset dua tahun lalu menunjukkan Muslim Indonesia menduduki peringkat tertinggi di dunia dalam ketaatan menjalankan ibadah ritual. Salat berjamaah di masjid, puasa di bulan Ramadan, haji dan umrah ke Tanah Suci. Masjid berdiri megah di mana-mana. Biro perjalanan haji dan umrah tumbuh bak cendawan di musim hujan. Bulan puasa menjadi bulan yang ditunggu-tunggu untuk menunaikan puasa dan tarawih ke masjid bersama keluarga dan tetangga. Zakat dan infak pun juga demikian.
Sebagai sebuah negara bangsa, ketaatan beribadah ritual orang Indonesia tidak hanya terlihat di kalangan umat Islam, tetapi juga pada umat-umat lain, seperti Katolik, Kristen, Hindu, Buddha dan lain sebagainya. Gereja dan wihara tumbuh subur dengan jumlah jemaat yang terus meningkat dari waktu ke waktu. Semua terlihat secara nyata dan terus berkembang secara signifikan. Sehingga wajar bila muncul anggapan bahwa rakyat dan bangsa Indonesia adalah bangsa terbaik dan tentu akan menjadi negeri yang terbaik pula di dunia. Begitulah logika yang seharusnya terjadi.
Namun, siapapun tahu, kalau kenyataannya justru terbalik seratus delapan puluh derajat dari logika itu. Negeri yang berfalsafahkan Pancasila dan berkonstitusikan Undang-Undang Dasar 1945 ini kini menjadi negeri tempat suburnya korupsi. Sejak kelas teri sampai kakap. Suburnya fitnah dan adu domba dari dusun sampai kota. Mewabahnya pelanggaran hukum sejak yang cilik sampai yang elit. Berjangkitnya konflik mulai dari tetangga sampai negara.
Bertaburnya curiga dari masyarakat yang susah sampai yang mewah. Merajalelanya kebohongan publik sejak dari yang berbentuk gosip tentangga sampai ke media massa. Sejak dari petinggi yang pakai mersi sampai rakyat jelata yang berjalan kaki. Sehingga hampir tidak tersisa lagi ruang nyaman untuk bernapas lega. Semua sudah disesakkan oleh perkara dan sengketa yang hampirnya semua juga karena ulah mereka-meraka yang bersangkut paut dengan kekuasaan atau kuasa. Ruang publik sudah bertabur “kotoran” politik jahat, sehingga anak-anak bangsa kehilangan harkat dan martabat ketika berhadapan dengan teman sejawat dari negeri lain yang merawat marwahnya dengan selamat. Minuman keras seakan bebas meluas. Narkoba sampai menjalar jauh ke desa. Perbuatan zina seperti dianggap biasa. Judi juga menjadi pandangan yang biasa. Seakan semua ada yang menyengaja agar Indonesia menjadi negeri lemah tak berdaya, agar mereka berleluasa mengambil kesempatan untuk menjarah kekayaan alamnya yang tak terpermana.
Lalu, kenapakah semua itu bisa terjadi ? Bukankah yang melakukan adalah juga orang-orang beragama yang –sebagian besarnya- beribadah menurut kepercayaan yang dianutnya? Bukankah ibadah yang ditunaikan tidak hanya untuk menghapus dosa pribadi, tetapi juga untuk menghindarkan diri dan bangsa dari perbuatan hina dan nista?
Di sinilah kita perlu merenung dan berbagi analisa, kenapa ibadah yang ditunaikan tidak berbekas kepada perilaku sosial dalam hidup bersama ? Kenapa ibadah yang ditunaikan seakan-akan hanya “mainan” pengisi waktu rehat tanpa makna? Kenapa semua ibadah yang dikerjakan itu tidak berkontribusi mengubah perilaku menjadi terpuji lalu membawa berkah kepada bangsa dan negara?
Ada ungkapan bijak mengakatan bahwa ahli ibadah tanpa mengerti makna dan hakikat dari ibadah yang dikerjakannya, akan terjebak ke dalam pemaknaan diri sebagai orang terbaik di lingkungan yang tidak rajin beribadah seperti dirinya. Mereka telah merasa cukup sebagai orang taat dan terbaik hanya dengan mengerjakan ibadah itu secara fisik, tapi tidak mengerti apa hakikat dari ibadah yang justru seharusnya ia tegakkan. Lebih fatal lagi, orang seperti ini akan menganggap diri paling benar dan akhirnya menyalahkan orang lain yang tidak beribadah seperti apa dia beribadah. Mereka tidak saja tidak akan berkontribusi kepada kemasalahatan umat atau masyarakat, tetapi justru akan menimbulkan permasalahan dan bahaya kepada persatuan umat atau bangsa di mana dia berada. Mereka tidak memahami bahwa gerakan fisik yang dilakukan ketika beribadah dalam Islam. Misalnya, adalah simbol-simbol kebaikan yang harus ditegakkan setelah ritual ibadahya dilaksanakan. Maka, bisa dipahami kenapa ada orang, bahkan petinggi negara, berkeinginan untuk melepaskan agama dari politk, dari urusan negara, seperti yang dilakukan di dunia Barat pasca “zaman kegelapan.”
Keinginan itu muncul setelah memperhatikan seakan-akan ibadah yang dilakukan tidak ada pengaruhnya dalam membentuk kepribadian menjadi lebih baik dan melakukan kebaikan pula di tengah-tengah kehidupan sosial. Mereka menyamakan saja agama Islam dengan agama-agama lain yang pada prinsipnya hanya mengajarkan tentang moral, hubungan manusia dengan Sang Pencipta. Sementara Islam adalah agama yang mencakup semua segi kehidupan manusia, individual dan sosial. Islam tidak hanya mempunyai ajaran tentang akidah yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan secara vertikal, tetapi juga seluruh aspek kehidupan manusia.
Diposkan oleh Tim Liputan Suska News
Dikutip dari Riau Pos Edisi Selasa, 13 Juni 2017