Beberapa waktu lalu berita di media massa diramaikan oleh laku orang-orang yang melakukan aksi persekusi. Di sosial media perbincangan persekusi begitu hangat, tagar #persekusi di twitter sempat menjadi trending topic selama beberapa hari. Ada video seorang remaja di Jakarta yang viral saat sedang dipersekusi oleh sekelompok orang yang tidak suka dengan celotehnya di sosial media. Akibat aksi persekusi ini, muncul berbagai koalisi di masyarakat yang meminta polisi bertindak dan mengamankan pelaku persekusi karena dinilai meresahkan dan sudah tidak sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku.
Kata persekusi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti pemburuan sewenang-wenang terhadap seorang atau sejumlah warga dan disakiti, dipersusah atau ditumpas. Artinya menjadi lebih ekstrim jika ditambahkan dengan awal me yakni memersekusi yang bermakna menyiksa, menganiaya: tanpa memikirkan lagi keadilan atau kemanusiaan, mereka atau memperlakukan lawan politiknya bagai iblis.
Tulisan ini tidaklah ingin menilai pihak mana yang benar dan salah dalam konteks terjadinya persekusi. Karena juga banyak beredar di media sosial, tindak persekusi juga dialami oleh pihak yang dituding sebagai pelaku. Namun demikian tulisan ini bertujuan untuk memandang persekusi sebagai kegiatan yang sebaiknya dihindari atau bahkan dihilangkan dalam laku moral kita sehari-hari karena lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya.
Dalam pandangan penulis, persekusi sesungguhnya lahir karena tiga hal; pertama, karena kepentingan atau interest dari orang yang menerima atau membaca pesan dari orang lain di luar diri dan kelompoknya. Kedua, karena ingin menunjukkan eksistensi diri bahwa siapapun yang berbuat dan dinilai “salah” juga bisa suatu saat dihukum warga. Tindak persekusi menjadi pesan balasan, bahwa jangan sembarangan mengirim pesan baik lisan, tulisan, perbuatan dan lain-lain, karena ada orang yang akan mengawasi dan bertindak. Kasus pembakaran para perampok sepeda motor atau begal sesungguhnya termasuk dalam kategori ini juga. Ketiga, karena lunturnya kepercayaan kepada hukum. Bahwa aparat hukum dipandang tidak lagi bisa menegakkan keadilan bagi semua rakyat yang punya hak yang dan kewajiban yang sama di mata hukum. Zaman ini di mana warga ingin semua proses berjalan instant sehingga dalam alam pikiran beberapa orang, proses yang dijalani harus berjalan cepat dan instant juga. Artinya begitu ada kesalahan seharusnya langsung diambil tindakan atau bahkan sebaiknya dihukum saat itu juga.
Dalam perspektif komunikasi, persekusi sesungguhnya hadir akibat dari berbagai komunikasi yang terhambat atau tersumbat selama ini. Onong Uchjana Efendy dalam buku Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi(2003:47) berpendapat bahwa hambatan komunikasi terjadi karena beberapa hal yakni; pertama, gangguan yang bersifat mekanik dimana terjadinya gangguan pada saluran komunikasi atau kegaduhan yang bersifat fisik, gangguan ini lebih mengarah kepada medium yang digunakan dalam berkomunikasi seperti suara ganda pada radio karena gelombang yang berimpitan, atau suara riuh hadirin ketika orang berpidato. Kedua, karena gangguan semantik. Gangguan jenis ini bersangkutan dengan pengertian kata-kata yang sebenarnya atau perubahan pengertian kata-kata. Lambang kata-kata yang sama mempunyai pengertian yang berbeda untuk orang-orang yang berlainan. Ini disebabkan dua jenis pengertian mengenai kata-kata mempunyai pengertian denotatif atau sesuai dengan apa yang ada di dalam kamus, serta konotatif yakni pengertian yang bergantung kepada emosional dan latar belakang seseorang.
Kedua, karena Kepentingan (Interest). Faktor kepentingan juga akan menghambat komunikasi yang efektif, karena faktor kepentingan komunikan yang membuat komunikan akan selektif dalam menerima dan menanggapi pesan. Orang akan terangsang oleh pesan yang menjadi kebutuhannya. Di tengah tensi informasi yang tinggi dan perdebatan yang tidak berkesudahan karena berbagai isu yang merebak di tengah warga, sebenarnya wajar ada yang mengidolakan seseorang, menyanjung bahkan mengaguminya setinggi langit. Namun menjadi tidak elok jika dalam proses sanjung-menyanjung itu diikuti dengan penonjolan ketidaksukaan terhadap pihak lain apalagi dengan ujaran penuh kebencian. Faktor kepentingan inilah yang membuat benturan dan ujaran kebencian tiada pernah berhenti karena loyalitas semu yang berjalan seiring dengan viralnya sebuah pesan membuat banyak orang terhubung dan kemudian membuat kelompok dan komunitasnya sendiri. Sosial media adalah medium yang paling ampuh untuk terbentuknya komunitas loyal ini.
Ketiga, hambatan karena motivasi (motivation). Faktor motivasi komunikan juga akan mempengaruhi tingkat kepedulian, perhatian dan rangsangan terhadap pesan yang disampaikan oleh komunikator. Semakin sesuai pesan dengan motivasi seseorang, semakin tinggi tingkat intensitas dan semakin tinggi perhatiannya. Jika kita kaitkan dengan apa yang terjadi dalam konteks persekusi yang terjadi akhir-akhir ini, maka motivasi para pelaku dan korban yang kadang juga melakukan kekerasan verbal di media sosial sesungguhnya lahir karena motivasinya bukan lagi menegakkan kebenaran, tetapi pembenaran terhadap semua kelakuan yang dilakukan oleh orang yang diidolakannya. Motivasi yang tidak seragam inilah yang menyebabkan komunikasi yang terjalin di antara kedua belah pihak tidak lagi rasional, sudah tidak sesuai logika berfikir yang sehat, karena didasari oleh sentimen negatif terhadap para pihak yang berdebat.
Ketiga, hambatan karena prasangka (prejudice). Prasangka merupakan hambatan berat bagi proses komunikasi, kalau belum apa-apa komunikan sudah curiga baik terhadap komunikator maupun pesan yang akan disampaikan maka komunikasi tidak berjalan dengan efektif. Hal ini bisa saja karena ethos komunikator di mata komunikan sudah merosot. Karena dengan adanya prasangka ini membuat seseorang menarik kesimpulan berdasar emosi dan bersikap subyektif sehingga seseorang menjadi tidak rasional lagi. Akibat dari sifat ini muncul perspektif kami dan mereka yang semakin memisahkan kita sebagai anak bangsa.
Komunikator dimaksud bisa saja pemerintah beserta aparaturnya, penegak hukum, serta pihak yang selama saling berseberangan. Sehingga walaupun yang disampaikan oleh pihak-pihak ini adalah sesuatu yang lumrah, wajar, dan baik sekalipun tetapi karena dicurigai, disangka membuat skenario macam-macam, sehingga hal itu tetap saja dinilai tidak baik oleh pihak yang selama ini berseberangan dengannya.
Evasi Komunikasi
Akibat dari hambatan komunikasi ini terjadilah respon/tanggapan negatif komunikan terhadap komunikator maupun pesan yang disampaikan yang bisa berupa ‘penentangan’ sikap acuh tak acuh, mencemooh bahkan mendiskreditkan pesan. Gejala mendiskriditkan atau menyesatkan pesan oleh komunikan karena tidak suka terhadap komunikator maupun pesan yang disampaikan dinamakan “Evasion of communication “
- Cooper dan M. Johada, mengemukakan ada beberapa jenis evasi komunikasi yakni pertama, menyesatkan Pengertian,(understanding derailed), yaitu suatu pesan di-interpretasikan sesuai dengan kondisi emosi/perasaannya. Misal, temannya mengajak agar meningkatkan kedisiplinan. Oleh yang menerima pesan diinterpretarsikan temannya itu mau ‘cari muka’. Jika kita kaitkan dengan perilaku persekusi mungkin maksud si pemberi pesan atau katakanlah korban adalah baik yakni mengimbau seseorang untuk segera menjalani proses hukum, akan tetapi oleh pembaca bisa saja itu dianggap tidak elok apalagi dibumbui dengan ujaran kebencian dan membandingkan dengan seseorang yang berasal dari kaum atau etnisnya sendiri.
Kedua, mencacatkan pesan (message made invalid), yaitu pesan yang diterima diinterpretasikan dan dikembangkan tidak sebagaimana mestinya. Misal, si-A, baru ditegur oleh atasannya, si-B yang tidak suka dengan si-A, cerita kepada si-C, bahwa si-A, dimarahi atasannya, si-C yang tidak suka dengan s-A, cerita kepada si-D, kalau si-A, di skors oleh pimpinannya. Jika dikaitkan dengan persekusi persebaran pesan yang massif di sosial media dan memancing partisipasi warga untuk berkomentar, membagi pesan, atau bahkan merekayasanya, telah mengakibatkan prilaku persekusi bisa menjadi justifikasi untuk menegakkan kebenaran dalam perspektif masing-masing. Frame media bahkan juga bisa membentuk opini bahwa para korban yang sebelumnya juga bertindak tanpa etika di sosial media dan melakukan kekerasan verbal adalah warga yang patut dibela dan dijaga kehormatannnya.
Ketiga, mengubah kerangka referensi (changing frame of reference) seseorang dalam menerima pesan, sering dimaknai sesuai dengan kerangka referensinya sendiri, baik kerangka piker maupun kerangka pengalamannya sendiri. Misal, Seseorang yang telah mengenal dan mempunyai pengalaman tentang Wisata Bali, akan berbeda responnya bagi yang belum tahu tentang Wisata Bali, saat disampaikan pesan-pesan tentang Wisata bali. Jika kita kaitkan dengan laku persekusi sungguh sangat banyak orang yang akan terpesona dengan kekerasan yang terjadi patut dikutuk dan dihukum selayak mungkin, namun kadang terjadi pengaburan fakta dengan menonjolkan kekerasan kepada korban sembari mengabaikan kesalahan yang sudah diperbuatnya. Di sini kembali media massa berperan membentuk opini di masyarakat. Persekusi tentu saja perbuatan yang patut dicela bahkan diharamkan dalam laku hukum di negeri kita, tetapi juga harus dicatat bahwa tak ada asap tanpa ada api sebelumnya, tak akan ada tindakan tanpa ada pihak yang memulai aksi terlebih dahulu, semoga kita bijak dalam menyikapinya. Amin.
*Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Suska