Guru Besar Fiqh Siyasah (Politik Islam) UIN Suska Riau
Ketika membaca berita tentang penghinaan dengan menggunakan sebutan “pribumi tiko” yang dilakukan oleh salah seorang calon penumpang pesawat (warga keturunan) asal Indonesia saat antre di Bandara Changi, Singapura, terhadap Gubernur Nusa Tenggara Barat, Muhammad Zaidul Majdi, tanggal 9 April 2017, saya jadi teringat peristiwa yang saya alami sendiri 24 tahun lalu di negara singa itu, tepatnya Juli 1993. Waktu itu saya berada di stasiun kereta api bawah tanah dan bertanya kepada seorang lelaki tentang kereta api yang akan saya naiki ke Victoria Street. Pertanyaan saya tidak dijawabnya. Ia malah balik bertanya, “are you Philipino?” Saya jawab, “No. Indonesia.” Mendengar jawaban saya, si lelaki itu terlihat sinis dan raut wajahnya seperti merendahkan. Lantas saya bertanya, “why ?” Sambil tetap memperlihatkan wajah sinisnya dan berbalik sambil terus berjalan meninggalkan saya, ia berucap, “coruption.”
Walaupun kata-kata dan perilaku yang saya terima tidaklah sekasar yang diterima oleh Pak Gubernur itu, tetapi sikap dan kata-kata tersebut sangat membekas sampai sekarang. Apalagi, tidak lama setelah itu, saya mendapatkan lagi sikap yang mirip dengan itu di Negara Bagian Kelantan, Malaysia. Peristiwanya terjadi ketika mahasiswa yang mendampingi saya memperkenalkan, tanpa menyebut status saya, kepada seorang lelaki separuh baya di salah satu kantor partai politik yang ada di negeri itu. Dengan enteng dan dengan raut wajah sinis, dia sebut saya “Indon,” sebuah julukan merendahkan yang diberikan kepada para pekerja kasar asal Indonesia yang ada di sana. Saya sangat tersinggung dengan sebutan itu, lalu mengatakan kepadanya siapa saya yang sebenarnya. Memang, akhirnya ia meminta maaf, tetapi peristiwa itu sangat amat membekas dan bahkan membuat trauma di diri saya.
Tahun 2001 saya mengalami lagi hal yang hampir sama dengan peristiwa di atas. Ketika itu, tepatnya pada bulan Juli, saya berada di sebuah benteng Yunani kuno di pinggir pantai Laut Tengah Alexandria. Seorang turis asal Brazil menanyakan dari mana saya berasal. Saya jawab, Indonesia. Ia tidak tahu, di mana Indonesia. Tapi, tanpa diminta, security pakai tongkat yang ada di dekat saya berkata, “the blind President,” sambil berjalan menunduk dan ketawa. Hampir semua orang yang ada di situ ikut ketawa. Rupanya mereka lebih mengenal Presiden Indonesia yang mengalami masalah pada matanya (Abdurahman Wahid) dibanding negara Indonesia sendiri. Saya malu dan merasa serba salah.
Tentu bisa dibayangkan bagaimana perasaan saya dari tiga peristiwa di atas. Saya sangat terpukul. Sebagai negara yang sering disebut akan menjadi macan Asia pada masa itu, saya bangga menjadi orang Indonesia. Tetapi setelah mendengar kata dan melihat sikap orang di tiga negara tersebut, saya langsung ciut dan segera bertanya dalam hati, “apakah memang negeri saya seperti dan serendah itu?” Apakah memang bangsa saya pantas mendapat julukan serupa itu? Rasanya, kalau pribadi yang direndahkan, tidaklah saya akan terluka separah itu. Saya terluka ketika negeri dan bangsa saya dipandang begitu rendah dan hina. Begitu membekasnya luka itu, saya menjadi sangat hati-hati menyebut identitas bila ada orang bertanya hal yang serupa di negara-negara lain yang pernah saya kunjungi setelah kejadian-kejadian tersebut.
Saya yakin, bukan hanya saya yang mempunyai pengalaman traumatik seperti itu. Pasti banyak lagi kawan lain yang merasakannya di negeri orang, sehingga tergeruslah rasa kebanggaan sebagai orang Indonesia.
Lalu, pertanyaan kita adalah, kenapa orang sinis dan memandang rendah ketika kita menyebut diri sebagai orang Indonesia?
Agaknya, pertanyaan di atas perlu sering diajukan agar: Pertama, kita tidak menghabiskan waktu terjebak dalam rasa sakit hati terhadap orang lain yang mencela sehingga akan merugikan diri sendiri. Kedua, kita mau mengevaluasi diri secara jujur dan berjuang memperbaki semua kekurangan yang ada selama ini. Karena tidaklah mungkin orang akan menghina bila kita memang tidak memenuhi syarat layak untuk dihina. Ketiga, termotivasi menjadi bangsa yang lebih baik dan terhormat seperti bangsa-bangsa lainnya di dunia.
Kalau begitu, apa syarat menjadi bangsa yang terhormat, tidak hina di mata orang lain?
Dalam Ayat 70 Surat al-Isra, Allah berfirman, “Sungguh, kami telah memuliakan anak-anak Adam. Kami angkut mereka di darat dan di laut. Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik. Kami lebihkan mereka dari makhluk-makhluk lain yang kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.“ Tidak ada manusia yang terlahir hina. Semua terhormat dan bahkan dimuliakan oleh Sang Pencipta.
Namun, dalam ayat lain di Surat Ali Imran, Ayat 112, Allah mengingatkan bahwa kemuliaan itu bisa berubah menjadi hina bila anak-anak Adam itu tidak menjaga menjaga hubungan baik dengan Allah dan manusia. Allah berfirman, “mereka (manusia) akan ditimpa kehinaan di mana saja berada, kecuali bila mereka berpegang teguh dengan tali (agama) Allah dan tali (hubungan baiknya) dengan sesama manusia. Mereka akan dimurkai Allah dan kesengsaraan, yaitu orang-orang yang tali (hubungan)-nya kepada Allah dan tali (hungan)-nya kepada manusianya rusak, atau dirusaknya.”
Allah sendiri yang menetapkan bahwa harkat atau kemuliaan seseorang ditentukan oleh kualitas hubungannya dengan Allah dan manusia secara bersamaan. Hubungan baik dengan Allah saja belumlah cukup untuk beroleh kemuliaan hidup bila tidak disertai dengan hubungan baik dengan sesama manusia. Begitu juga sebaliknya. Kualitas komunikasi dua arah, dengan Allah dan manusia lah yang menentukan kualitas hidup seorang manusia atau suatu kelompok manusia yang disebut bangsa. Keduanya harus dijalankan secara bersamaan dengan baik dan dipelihara dengan sebaik mungkin. Bila komunikasi itu baik, maka baik pulalah nilai manusia, dan bila komunikasi itu rusak, maka akan jatuhlah nilai manusia tersebut di mata Allah dan juga di mata manusia.
Maka, bila bangsa Indonesia hari ini dipandang rendah atau bahkan hina oleh bangsa lain, berarti kualitas komunikasi manusia yang ada di negeri ini dengan Tuhan dan dengan sesamanya sedang mengalami masalah serius, sejak elite yang ada di istana dan atau ibu kota negara sampai kepada rakyat jelata di desa-desa. Kebohongan; ketidakjujuran; kecurangan; khianat; ketidakadilan; pengingkaran terhadap hukum di/dan oleh elite yang semakin merajalela membuat rakyat kecewa, sakit hati dan kehilangan kepercayaan, lalu berimbas pula menjadi prilaku mereka sehari-hari.
Sengaja atau tidak sengaja, perilaku elite itu seakan mengajar rakyat untuk berperikaku seperti itu pula, lalu membudayalah semua perilaku tercela tersebut dan akhirnya kacaulah sistem sosial. Pasar seakan menjadi ladang buruan yang liar; kantor-kantor pemerintah dan swasta seakan menjadi tempat merekayasa segala macam kecurangan dan perbuatan korup; jalan raya seakan berubah menjadi arena pamer kemewahan, pelanggaran aturan lalulintas, arena balap liar yang memekakkan telinga dan mebahayakan nyawa; tanah kosong atau ruas-ruas jalan menjadi tempat sampah yang merusak keindahan dan mengudang penyakit; lembaga-lembaga pendidikan bahkan rumah-rumah ibadah yang seharusnya memerankan diri sebagai pembentuk karakter mulia tidak sedikit dicederai oleh kepentingan-kepentingan politik angka pendek; organisasi-organisasi massa menjadi kumpulan orang berebut kepentingan dan bukan pengabdian. Bila rakyat kecil melakukan kesalahan kecil sekalipun, diberi hukuman, sementara elit yang sudah “bergelanggang mata orang banyak” terbukti bersalah tapi karena dekat dengan kekuasaan, dibiarkan atau diulur-ukur waktu hukuman dengan harapan lama kelamaan bisa dilupakan; Lawan-lawan politik dicari atau dibuat rekayasa agar nampak bersalah agar dapat dijatuhkan dari kedudukan dan jabatannya. Semua telah hampir menjadi budaya bangsa yang sangat sulit dihilangkan, sehingga membuat bangsa lain yang melihat atau tahu tentang prilaku seperti itu menjatuhkan nilai kepada bangsa ini sebagai bangsa yang berperadaban rusak, bila tidak ingin disebut biadab, lalu akhirnya mereka memandang hina.
Hal itu itu tentu perlu dijadikan sebagai bukti betapa hubungan sosial sesama manusia (habl min al-nas) di negeri ini telah begitu rusak di hampir semua sektor dan semua lini, yang secara serta merta menjadi bukti telah terjadinya kerusakan serius hubungan dengan Allah Swt. Karena, bukankah baik atau tidak baiknya hubungan seseorang dengan Khaliknya akan terlihat kepada baik atau tidak baiknya hubungan mereka dengan sesama manusia sebagai makhluk-Nya. Orang yang komunikasinya baik dengan Tuhannya pasti akan berimbas kepada baik pula perilakunya dengan sesama makhluk Tuhannya, terutama manusia yang ada di sekitarnya. Jadi, di negeri ini, banyaknya rumah ibadah, ramainya jamaah, ternyata tidak berkorelasi positif dengan baiknya akhlak bangsa.
Sepertinya, bagi bangsa ini, ibadah adalah something, sementara perilaku adalah something els, lebih dari sekadar sekuler, tapi dekat kepada kemunafikan. Artinya, bangsa kita hari ini telah berubah menjadi bangsa yang benar-benar munafik secara harfiah dan maknawiah, suatu sifat yang sangat hina di mata Allah dan di mata manusia. Bukan Allah yang menjadikan kita sebagai bangsa yang hina, tetapi perilaku kita sendiri yang menyebabkan terjadinya kehinaan itu. Ia bukan takdir, tetapi akibat. Oleh sebab itu, sebagai akibat, kehinaan bisa diubah kembali menjadi kemuliaan. Tinggalkan semua prilaku hina seperti disebut di atas, maka kemuliaan akan datang dengan sendirinya juga sebagai akibat.
Pertanyaannya adalah, di mana harus dimulai?
Jawabannya hanya satu, pemimpin. Perubahan tidak akan terjadi bila yang punya kekuasaan tidak mau berubah. Tidak akan ada perubahan bila tidak ada kekuatan yang akan mengubah. Kekuatan itu ada di tangan kekuasaan, di tangan penguasa yang memegang kekuasaan. Ibarat sungai, pemimpin adalah hulunya dan rakyat adalah hilirnya. Bila hulunya keruh, maka kekeruhan hulu akan mengalir ke hilir dan mengubah hilir menjadi keruh pula. Tidak ada teknologi yang menjamin hilir bisa bersih bila hulu tetap keruh. Tetapi bila hulu yang telah bersih, betapapun keruhnya hilir, lambat laun kekeruhan itu akan habis dilanda bersih yang terus mengalir dari hulu. Artinya, perubahan keadaan di suatu negeri ditentukan oleh siapa yang paling berpengaruh di negeri itu. Maka, siapakah yang akan mengubah pemimpin?
Diposkan Oleh Tim Liputan Suska News
Dikutip dari Riau Pos Edisi Senin, 28 Agustus 2017