Dari sudut yang jauh, mereka seperti tukang teluh, membuat orang mengeluh dalam hidup yang semakin jenuh, lalu mengumpat dalam isu yang melompat-lompat. Tujuan akhirnya jelas membuat umat berdebat, dan pada akhirnya tersesat dalam ruang kebencian satu sama lain. Pola picik inilah yang dilakukan kelompok Saracen yang populer dalam dunia yang tidak pernah tidur bernama media sosial.
Media sosial yang sejatinya diciptakan untuk interaksi sosial antarmanusia yang selama ini terpisah jarak dan waktu. Namun tak dapat dipungkiri dimana ada warga yang berkerumun, apalagi kerumumnan itu selalu ramai dan tidak pernah sepi, maka disaat itu pula akan banyak orang berjualan, bercerita, bergaya dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Ketika kerumunan itu tidak awas terhadap berbagai konten atau pesan yang diterima, maka disaat itulah kita akan perlahan tapi pasti terpengaruh, terpedaya, dan pada akhirnya tersesat, sehingga kemudian berkawan dengan pencopet, berdialog dengan dengan perampok, dan kemudian bersahabat dengan para bangsat yang penuh siasat sesat.
Ada yang bilang media sosial saat ini hanya berisi sampah, sumpah serapah, dan orang-orang salah kaprah. Pandangan ekstrim ini didasari oleh kegelisahan kaum idealis yang tidak lagi melihat interaksi sebagai sesuatu yang mengingatkan saudara sesama manusia dengan cara yang sopan dan beradab, tetapi sudah seperti pabrik dosa yang memproduksi berbagai cinta dan benci yang berlebihan kepada berhala yang disembahnya.
Saracen adalah sebuah fenomena yang menarik untuk ditelaah. Dia seolah menjadi stimulan para politisi yang ingin menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan politiknya. Produsen pesan seperti Saracen tentulah tidak mungkin beroperasi dengan niat tanpa pamrih. Dari pengakuan para awaknya dapat dimengerti bahwa fulus kemudian menjadi motivasi untuk melakukan pekerjaan nista itu. Saracen hadir di tengah keriuhan, kejenuhan untuk mencari lapis kebenaran yang di media sosial, dan kekhawatiran yang mendalam dari umat akan tabiat para pejabat. Saracen seolah mengkonfirmasi bahwa berita bohong itu benar-benar ada, lengkap dengan pabrikan dan spesisfikasinya. Kecanggihan teknologi yang berurai dengan berbagai kekurangajaran para penggunanya membuat lahan bisnis seperti yang dilakukan Saracen dan yang sejenisnya tumbuh subur seperti jamur di musim hujan. Di sini logika pasar berlaku semakin banyak permintaan, maka konten dan pesan yang diminati banyak orang akan semakin berharga, di ruang itulah Saracen bermain.
Saracen menjadi wujud bagaimana media sosial hari ini tak selalu melulu soal gaya lenggak-lenggok, jualan barang berharga, tapi juga bisa dari bahasa, status penuh kasus, bisa menghasilkan sesuatu yang bernilai bagi publik yang memujanya. Saracen juga memperkuat dalil bahwa komunikasi tidak hanya dilakukan untuk menginformasikan (to inform) tetapi juga memberi pengaruh yang pada akhirnya orang yang terpengaruh bertindak seperti yang diinginkan oleh si pemberi pesan.
Membiarkan Saracen beserta grup sejenis berkembang, sama saja membiarkan berbagai pesan tak benar berkembang biak di negeri ini yang dapat berujung kepada perang saudara. Oleh karena itu perlu kiranya kita menyadarkan berbagai pihak untuk memblokir grup atau konten yang bernuansa tidak baik bagi umat kebanyakan. Saracen setidaknya menyimpan beberapa bahaya laten, antara lain: pertama, simpati yang berujung benci. Saracen berupaya membangun simpati warga dengan menampilkan berbagai berita derita untuk kemudian meraih simpati publik yang ditargetkannya. Bungkus agama akan membuat simpati semakin menjadi-jadi dan pada akhirnya publik akan membenci satu sama lain. Ambisi kelompok ini jelas adalah politik belah bambu yang pada akhirnya akan membuat kelompok kita dan mereka. Sasarannya adalah kelompok mayoritas yang mudah terpengaruh dan miskin verifikasi, dengan berbagai rayuan kata dan visual yang mereka tampilkan.
Kedua, Saracen beserta kelompok sejenis berusaha untuk menawarkan jalan pintas kepada politisi yang ingin meraih simpati dengan cara-cara yang picik yakni pencitraan walaupun faktanya kadang bertolak belakang dengan yang dicitrakan. Dengan kinerja Saracen, publik kemudian disuguhi ujaran kebencian dan pada akhirnya alpa mengenai rekam jejak kandidat, karena jika benci sudah menjadi, tak soal lagi latar belakang kandidat di masa lalu, yang penting sepanjang dia dari golongan yang sama dengan kita itu wajib dibela. Bayangkan jika Saracen punya delapan ratus ribu akun dan membuat komentar negatif, lalu memunculkan citra seseorang yang positif tentu akan bisa menyedot perhatian publik di dunia maya, yang pada akhirya menjadi pembicaraan yang viral. Jalan pintas ini menjadikan politisi kita di masa depan adalah politisi yang bisa merekayasa kejahatan menjadi kebaikan, karena dalam dunia yang semu di dunia maya, wujud yang buruk bisa dipoles menjadi elok dan nyaris tanpa cela.
Ketiga, Saracen juga bisa menjadi penggangu atau penghambat penyampaian pesan yang subjektif. Hambatan subjektif biasanya terjadi karena sengaja dibuat orang lain. Onong Uchjana Efendi (2003: 50) menuliskan dasar gangguan dan penentangan ini disebabkan karena adanya pertentangan kepentingan, tamak, iri hati, apatisme dan sebagainya. Melalui media sosial ada banyak pesan yang bisa dicacatkan pengertiannya(understanding derailed) seperti orang rajin kerja dibilang cari muka, mencacatkan pesan komunikasi (message made invalid) seperti orang yang ditegur atasan lalu disebar isu dia dimarahi, kemudian berkembang cerita dia diskors atau bahkan isu dia akan dimutasi. Kemudian juga mengubah kerangka referensi (changing frame of reference).Dengan mengubah kerangka referensi kita seolah dihadapkan pada kenyataan perbedaan pandangan adalah hal yang tidak bisa diterima, oleh karena itu yang berbeda bukan bagian dari kita dan itu adalah mereka yang harus dilawan, dibenci dan boleh dicaci maki.
Keempat, Saracen beserta kelompok sejenis jika dibiarkan berkembang biak, bukan hanya mengancam keutuhan bangsa Indonesia yang dihuni beragam suku, etnis, dan agama, tetapi juga memandulkan tata laku normatif bangsa Indonesia yang selama ini dikenal santun dalam berbahasa. Kita seolah terbiasa dan mulai dibiasakan dengan hujatan dan ujaran kebencian yang tidak lagi sesuai dengan tata krama yang sudah lama kita anut. Tidak ada lagi kesopanan, etika, dalam berdialog, norma dalam berdebat, dalam berbicara. Tidak jelas lagi bagaimana menaruh hormat kepada yang tua, bagaimana mengayomi anak-anak muda, semua itu seolah bukan lagi menjadi hal yang harus diperhatikan atau dipraktikkan dalam kehidupan di dunia maya dan nyata. Kita mulai terbiasa dan terbius menjadi publik yang marah dan ambisius. Kurva kemarahan inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh sekelompok orang untuk memoles citra dan kemudian menista terhadap orang atau kelompok lain.
Kelima, fenomena Saracen sejatinya juga akan berpengaruh kepada kelompok lain yang berlawanan visi politiknya. Akan muncul kelompok kontra yang juga akan menyuburkan praktik kebencian dalam berbagai balut aksara penuh rekayasa. Oleh karena itu akan lebih adil jika bukan hanya Saracen yang dibredel dari jagat raya maya, tetapi semua kelompok yang berpotensi untuk mengajak orang membenci orang lain juga harus diperlakukan sama. Hal ini untuk memutus mata rantai pelaku lain yang akan berubah dalam wujud yang lain dan senantiasa menyebar benci ke seantero negeri.
Inilah lima bahaya laten yang harus diwaspadai oleh negara jika kita menginginkan Indonesia tetap utuh menjadi sebuah bangsa yang merdeka dari berbagai pihak yang ingin memecah belah anak bangsa ini. Saracen tentu hanya noktah dari berbagai fenomena di dunia maya, ada banyak kelompok termasuk pornografi yang harus diberangus oleh pemerintah sebagai pemegang mandat kekuasaan dari warganya.
Mustafa
Dosen Komunikasi Fakultas Dakwah dan Komunikasi