Dosen Fakultas Pertanian dan Peternakan
Dalam riuh pesta rakyat tujuh belas Agustus yang baru berlalu, tiba-tiba seorang teman bertanya dengan nada penuh misteri. Apakah bangsa kita sudah sungguh-sungguh berdaulat? Pertanyaan-pertanyaan mendasar semacam itu telah sering terdengar dan kali ini penulis teringat pada the founding fathers Indonesia. Suatu ketika Bung Hatta pernah berpidato, “Lebih suka Aku melihat Indonesia tenggelam ke dasar lautan, daripada melihatnya sebagai embel-embel abadi suatu negara asing”.
Agaknya refleksi pemikiran Bung Hatta, dapat kita tengok ke dalam sisi kehidupan Indonesia dewasa ini. Sumber daya alam “dipertahankan” sebagai sumber bahan mentah murah oleh negeri-negeri maju. Kemudian bahan mentah milik kita itu dijual kembali ke kita dengan harga melangit. Lalu jadilah kita bangsa konsumeristis yang “lapar” produk luar negeri, terutama teknologi populer yang makin membius generasi muda.
Sejujurnya, setelah reformasi 1998 kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara memang tidak lebih baik, bahkan mungkin sebaliknya, semakin menggelisahkan. Pasca-reformasi 1998 tidak terjadi pergantian rezim (no regime change), melainkan pertukaran wajah elite semata-mata. Orde Reformasi sampai sekarang, tetap terisi oleh politisi dan pejabat publik yang berasal dari rezim terdahulu, di manakah revolusi mental?
Bahkan menurut Mochtar Pabbotingi peneliti senior LIPI, reformasi justru melahirkan impunitas. Impunitas ini terus berlanjut. Jadi, celaka atau kutukan terbesar sepanjang sejarah bangsa adalah dibalikkannya fungsi hukum. Hukum bukan untuk menegakkan keadilan, tetapi melestarikan terus ketidakadilan.
Kekuatan partai politik yang seharusnya memperjuangkan agenda reformasi yang digulirkan sejak 1998 dan memikul kepentingan rakyat ibarat kehilangan taji. Ideologi partai politik yang seharusnya menjadi ”ruh” dari kekuatan perjuangan membangun sebuah nation movement building atau kolektivitas politik, semakin terbenam.
Presiden Amerika Serikat Franklin Delano Roosevelt pernah berujar, “Tanda-tanda kedaulatan dan kemerdekaan sebuah bangsa harus menjamin empat hal yakni menjamin hak rakyat bersuara dan berpendapat, merdeka dalam beragama, merdeka dari ketakutan dan bebas dari kesengsaraan, Sedangkan Bung Karno jauh-jauh hari juga sudah mengatakan mengenai “Kita bukan bangsa tempe….! Suatu analog bahwa dalam proses membuat tempe, bahan dasarnya yaitu kedelai yang diinjak-injak. Kita jangan mau menjadi bangsa yang diinjak-injak oleh siapa pun. Tidak berlebihan kalau terjadinya “krisis tempe” sebenarnya merupakan suatu “krisis kecerdasan”, “krisis harga diri”, dan “krisis kebudayaan”, “krisis jati diri” dan krisis masa depan.
Tan Malaka pun dalam master piece-nya Madilog tak urung sempat mencatat: “Segala kegagalan-kegagalan, segala keseretan-keseretan, segala kemacetan-kemacetan dalam usaha-usaha kita jang kita alami dalam periode survival dan investment itu, tidak semata-mata disebabkan oleh kekurangan-kekurangan atau ketololan-ketololan jang inhaerent melekat kepada bangsa Indonesia, tidak disebabkan oleh karena bangsa Indonesia memang bangsa jang tolol, atau bangsa jang bodoh, atau bangsa jang tidak mampu apa-apa, tidak! Segala kegagalan, keseretan, kemacetan itu pada pokoknja adalah disebabkan oleh karena kita, sengaja atau tidak sengaja, sadar atau tidak sadar, telah menjeleweng dari jiwa, dari dasar, dari tujuan revolusi!”.
Orang Besar
Selalu ada orang besar di balik terwujudnya kedaulatan sesebuah bangsa, tak peduli terukirkah atau tidak dalam kanvas sejarah. Ada Mandela di Afrika Selatan, pejuang anti-apartheid, yang mendaulatkan suku kulit hitam di antara diskriminasi rasial dunia ketika itu. Ada Mahatma Ghandi, yang teguh memperjuangkan kemanusiaan yang selanjutnya dibawa untuk pembebasan India, negaranya sendiri yang tengah berkecamuk oleh kolonialisme Inggris.
Di Kuba, rakyat kehilangan seorang Fidel Castro. Tokoh Revolusi Satu Januari dan Presiden Kuba ini, bersama Che Guevara, membangkitkan kesadaran perjuangan dan tak pernah lelah mendaulatkan kaum miskin pekebun yang tertindas struktur kapitalisme mondial. Begitu pula politikus brilian Brazil Lula da Silva, atau Hugo Chaves di Venezuela, Cristina Vernandez di Argentina, kesemuanya mendaulatkan ekonomi negara dengan nyali nasionalisasi aset asing.
Di Riau ada Raja Ali Haji yang telah lama mendaulatkan Riau sebagai pusat kebudayaan Asia Tenggara. Pendopo Masjid Pulau Penyengat menjadi saksi bisu tempat pertukaran ide para intelektual tanah Arab, rumpun ASEAN, sampai Afrika dan Eropa duduk bersila. Dilanjutkan oleh “pemungut” khazanah pantun seloka ceruk kampung Tenas Effendy, disambut gegap gempita perjuangan Sakai ala Tabrani sampai pergi ke Helsynki. Ditulis lintasan berzaman sejarah Melayu dulu, kini dan bayangan masa depan oleh UU Hamidy. Terungkailah nasib Riau yang tak berdaulat mandi asap berkuah limbah, hidup terlunta tiada marwah oleh Pe Amanriza sampai berpisah jua kita Jakarta. Bercahaya bulang segantang bintang, tetapi anak negeri itu termenung di depan pancang pancang kultural Sang Rida K Liamsi yang tak terelaborasi generasi pseudo-satra nan gagap menunggang ombak modernisasi.
Alhasil, kedaulatan adalah buah dari pikiran besar, dada lapang dan keteguhan para manusia berkarakter memperjuangkan keluhuran dan kebenaran. Mereka membangun tanpa pamrih, bening seperti embun ketika yang lain keruh. Tampaknya, kemerdekaan yang sedang direntasi dalam lembaran Agustus yang belum berakhir di tahun ini, masih menanti orang besar di balik sejarah bangsa yang makin kerdil. Agaknya Bung Hatta benar ketika mengatakan, “akan datang sebuah zaman yang besar, tapi betapa malang hanya berisi manusia kerdil”. Manusia yang tidak bisa mendaulatkan harga diri bangsanya di bawah taklukan pragmatisme politik dan hedonisme kekuasaan. Marwah bangsa kita sedang dipertaruhkan, tetapi siapakah yang peduli?
Diposkan oleh Tim Liputan Suska News
Dikutip dari Riau Pos Edisi Kamis, 31 Agustus 2017