Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Suska
Anggota Komisi Fatwa MUI Riau
Heboh, berita viral di medsos, Aris Wahyudi, pria asal Cilacap, bersama belasan orang mendeklarasikan Partai Ponsel di Gedung Joang 45, Jakarta, Selasa (19/9/2017).
Dalam wawancaranya, Aris Wahyudi meluncurkan program “Nikah Siri dan Lelang Perawan”. Menurutnya, program ini untuk membantu pemerintah dalam usaha mengentaskan kemiskinan.
Aris menjelaskan, bila ada perawan dan janda memerlukan penghasilan hingga ratusan juta rupiah, bisa mengikuti program tersebut. Dalam kontraknya nanti bisa diatur waktunya, 1,2,3 hari atau mingguan, atau juga bisa bulanan, sesuai kemampuan finansial calon mempelai.
Kata Aris, tempat pelampiasannya bisa di hotel, tempat kost, mall, rumah, dan sebagainya. Katanya lagi, nikah siri alias kawin kontrak dan lelang perawan ini juga bermanfaat bagi mahasiswi untuk memperlancar biaya kuliah.
Namun, pihak berwenang cepat tanggap dalam menyikapi peluncur program Nikah Siri dan lelang Perawan ini. Tepatnya pada hari Ahad (25/9), petugas Unit Cyber Polda Metro melakukan penangkapan terhadap Aris Wahyudi di rumahnya di kota Bekasi, Jawa Barat.
Lebih jelas lagi, dalam konferensi pers di Polda Metro Jaya, Jakarta, Minggu (24/9/2017), Direktur Kriminal Khusus Polda Metro Jaya Adi Derian mengatakan, pemilik situs pernikahan nikahsirri.com, Agus Wahyudi, telah mengumpulkan uang Rp 5 juta lewat proses transaksi penjualan koin. Setiap klien situs pernikahan siri itu diwajibkan membeli sejumlah koin dengan harga Rp 100 ribu per koin.
Dalam situsnya, setiap mitra atau orang-orang yang mendaftar untuk menjadi suami atau istri siri memiliki harga masing-masing. Jika tertarik, klien harus membayarkan sejumlah koin, sesuai dengan harga yang dipasang mitra.
Satu koin, kata Adi, dapat dibeli klien seharga Rp100 ribu. Pembayaran dapat dilakukan dengan cara mentransfer uang ke rekening tersangka. Setelah membayar, klien akan mendapatkan username dan password yang dapat digunakan untuk melihat katalog mitra di situs nikahsirri.com.
Adi Derian mengatakan, tersangka akan mendapatkan 20 persen dari hasil transaksi. Sementara, 80 persen lainnya diberikan kepada mitra jika ada klien yang berkesanggupan membayar mereka.
Sebagai ilustrasi singkat, jika seorang mitra memasang harga 200 koin, maka klien harus membayar Rp 20 juta rupiah. Tersangka akan mendapatkan Rp 4 juta, sementara mitra akan mendapat Rp 16.000.000 sisanya.
Dalam situs tersebut juga, kata Adi Derian, calon mitra yang mendaftar untuk menjadi istri atau suami siri minimal berumur 14 tahun.
Lalu, Adi Derian menegaskan, karena syarat itu, Aris Wahyudi bisa juga diduga melakukan eksploitasi anak dan penjualan orang.
Wali Nikah
Dulu, pada tahun 2013, ada oknum anggota DPRD Sampang, Madura, Hasan Ahmad yang menikahi sembilan siswi SMA. Dalam wawancaranya yang tertulis di berbagai media cetak, Hasan Ahmad yang menikahi para ABG di kamar hotel tanpa wali dan saksi itu menyatakan, pernikahan yang dilakukannya itu sah, dan termasuk dalam kategori nikah siri. Program nikah siri versi Aris Wahyudi itu juga bentuk pernikahan tanpa menggunakan wali nikah.
Nah, program itu bertentangan dengan syariat Islam, sebab mayoritas ulama menegaskan wali merupakan bagian dari akad nikah, dan akad nikah tidak sah tanpa ada wali. Hal itu diisyaratkan dalam surah al-Baqarah: 221, 232, 237, surah al-Nur: 32, surah al-Qashash: 27. Dan Rasulullah juga menegaskan hal itu dalam hadist riwayat Imam Ahmad, Abu Dawud, al-Tarmizi, Ibnu Majah, al-Daruquthni, Ibnu Hibban, al-Hakim, dan Imam al-Baihaqi. Makanya penulis kitab Nail al-Authar (6/135), Imam al-Syaukani menegaskan, nikah tanpa wali itu tidak sah.
Memang, mazhab Hanafi mengatakan bahwa perempuan boleh menikahkan dirinya tanpa menggunakan wali. Mazhab ini bersandar kepada hadist Imam Muslim dari sahabat Nabi Ibnu Abbas. Tapi, dalam mazhab Hanafi, seorang wali itu punya hak membatalkan pernikahan anaknya, bila terjadi ketimpangan status diri calon suami anaknya (kafa’ah), dan atau maharnya tidak standar.
Namun begitu, Imam al-Tirmizi dalam kitab Tuhfah al-Ahwazy (4/244) mengatakan, Ibnu Abbas sebagai sanad hadist yang menjadi dasar mazhab Hanafi itu justru menyatakan nikah tidak sah tanpa ada wali. Makanya maksud hadist itu menurut mayoritas ulama adalah seorang wali tidak boleh menikahkan anaknya yang janda tanpa terlebih dahulu mendapatkan persetujuannya. Dan akad nikah menggunakan wali itu merupakan pengamalan di kalangan para sahabat Nabi. Bahkan, dalamSunan al-Baihaqi (7/125) terdapat pernyataan Saidina Ibnu Abbas bahwa pelacur itu adalah wanita yang menikahkan dirinya tanpa wali.
Setelah membuat studi komparatif, akhirnya Guru Besar Fiqh Islam Universitas al-Azhar, Syaikh Ra’fat Utsman dalam bukunya Aqd al-Zawaj, menegaskan bahwa pendapat yang mesti dipakai adalah pendapat mayoritas ulama, dan nikah tanpa wali itu tidak sah.
Bahkan, dalam fatwanya, Ketua Majlis Fatwa Universitas al-Azhar, Syaikh Athiah Shaqar menyatakan, penggunaan Fiqh Hanafi yang membolehkan wanita melaksanakan akad nikah tanpa wali itu telah banyak menimbulkan kerusakan terhadap wanita Islam.
Makanya, dalam kasus ini, ulama mazhab Hanafi di Mesir, Syaikh Abu Zahrah dalam bukunya Ushul Fiqh, menghimbau para ulama untuk berpegang kepada pendapat mayoritas ulama yang menghukum batal nikah tanpa wali.
Sikap ulama mazhab Hanafi Syaikh Abu Zahrah itu bisa dianggap perubahan sikap sesuai dengan perubahan zaman. Karena, perubahan fatwa itu bisa saja terjadi disebabkan perubahan waktu, masa, dan kondisi. Di antaranya, Lembaga Fiqh Rabithah al-Alam al-Islamy pada 27 Rabi’ al-Akhir 1405 memasukkan kegiatan dakwah dalam Fi Sabilillah yang berhak menerima harta zakat. Karena dakwah melawan perang pemikiran yang merusak akidah dan syariat itu juga merupakan jihad di jalan Allah.
Syaikh Abd al-Razzaq mengutarakan dalam bukunya al-Taisir Fi al-Fatwa, bahwa Syaikh Yusuf al-Qaradhawi membolehkan wanita melakukan perjalanan jauh (musafir) sendirian tanpa mahramnya. Memang, ada hadist sahih yang melarang wanita musafir tanpa bersamaan dengan mahramnya. Tapi, menurut Syaikh al-Qardhawi hadist larangan itu berkaitan dengan kondisi zaman dahulu melakukan perjalanan menggunakan unta atau keledai melewati gurun padang pasir tanpa ada penduduknya. Hal itu berbeda di saat sekarang, musafir menggunakan pesawat dengan ramai penumpang, dan tidak ada lagi kekhawatiran yang menakutkan.
Nikah Urfi
Kebiasaan sejak zaman dulu, akad nikah itu dilaksanakan sempurna rukunnya berupa wali, saksi, dan ijab kabul. Tapi akad nikah itu tidak melalui pejabat Kantor Urusan Agama (KUA), dan tidak mendapatkan surat nikah. Itu yang disebut ulama dengan istilah nikah urfi (tradisi), sebab cara itu sudah merupakan tradisi yang cukup lama. Makanya mayoritas ulama, di antaranya Mufti Mesir Syaikh Hasanein Makhluf dalam bukunya Fatawa Syar’iyah menegaskan nikah urfi itu sah.
Tapi, sebagian ulama melihat kepada resiko pada saat ini yang terjadi pada nikah urfi, di antaranya terabainya hak anak mendapatkan nasab keturunan (akta kelahiran), dan hak nafkah anak dan istri serta hak waris. Melihat keadaan itu, Grand Syaikh al-Azhar Muhammad Said Thanthawi, Mufti Mesir Syaikh Nashar Farid Washil, dan Guru Besar Fiqh Islam Universitas Kairo, Syaikh Muhammad al-Bulthaji menegaskan nikah urfi yang tidak melalui KUA itu tidak sah.
Nikah Siri
Sebenarnya, akad nikah antara lelaki dan perempuan tanpa ada wali dan saksi sebagaimana yang dilakukan oknum anggota DPRD Madura dan yang ada dalam program Aris Wahyudi itu disebut dengan nikah siri. Dan ulama sepakat mengatakan nikah siri tanpa wali dan saksi itu batal dan tidak sah. Bahkan, dalam mazhab Maliki, akad nikah yang lengkap rukunnya, tapi sengaja wali dan saksi menyembunyikannya tanpa memberitakannya kepada masyarakat umum, maka nikah itu batal dan tidak sah. Begitu yang ditulis Syaikh Ahmad Yusuf al-Daryuwisy dalam bukunya al-Zawaj al-Urfy.
Kawin Kontrak
Dalam program Aris Wahyudi itu juga dinyatakan bahwa nikah siri yang dilakukan itu dengan menggunakan kontrak masa yang disepakati, atau yang dikenal dengan kawin kontrak.
Perlu diketahui, kawin kontrak atau nikah mut’ah itu hanya ada dalam kelompok Syiah. Dan ulama Syiah Ayatullah al-Kulayni dalam kitabnya al-Kafy (5/451) menyebutkan pernyataan Abu Abdullah (Imam Ja’far bin Muhammad) mengatakan, menikahi wanita secara mut’ah itu ialah nikah tanpa menggunakan wali dan saksi. Lalu, Abu Abdullah juga berkata, mahar nikah mut’ah itu cukup satu genggam gandum, atau satu dirham (al-Kafy: 5/457).
Menurut kaum Syiah, nikah mut’ah (kawin kontrak) boleh, bahkan akan mendapat pahala besar. Para ulama Syiah membolehkan nikah mut’ah dengan pelacur atau istri orang. Bahkan, ulama Syiah al-Khumaini membolehkan nikah mut’ah dengan bayi yang masih menyusui.
Bahkan, ulama Syiah, Ayatullah Fathullah al-Kasyany dalam kitabnya Minhaj al-Shadiqin menyebutkan, orang yang mengingkari halalnya nikah mut’ah (kawin kontrak) itu kafir dan murtad. Dan anak yang lahir dari nikah mut’ah itu lebih mulia dari anak yang lahir dari nikah abadi.
Makanya, Majlis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan sikap dengan mengeluarkan fatwa keharaman nikah mut’ah (kawin kontrak) yang ditandatangani pada 22 Jumadil Akhir1418 H/25 Oktober 1997 M. Menurut MUI, penghalalan nikah mut’ah bertentangan dengan semangat dan esensi pernikahan (QS: Al-Mukminun: 5-6).
Sebab, wanita yang dinikahi secara mut’ah itu tidak berfungsi sebagai istri. Karena akad mut’ah itu bukan merupakan akad nikah. Alasannya, pertama, akad nikah mut’ah tidak ada konsekwensi saling mewarisi. Kedua, tidak ada masa iddah dalam nikah mut’ah. Ketiga, tidak ada pembatasan jumlah wanita yang dinikahi secara mut’ah. Boleh saja melakukan nikah mut’ah melebihi empat orang wanita.
Lalu MUI menegaskan, seluruh ulama empat mazhab sepakat mengatakan nikah mut’ah itu diharamkan. Dalam kitab Fath al-Bary (9/71) ada sebuah hadits dari Ali bin Abu Thalib menyatakan, Rasulullah SAW melarang nikah mut’ah dan memakan daging keledai jinak pada waktu perang Khaibar. Begitu penjelasan MUI dalam buku “Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia”.
Terakhir, mengenai nikah mut’ah (kawin kontrak), penulis kitab Fath al-Bary (9/216) Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalany mengatakan, pada awal Islam ada keringanan dengan kebolehan nikah mut’ah, kemudian diharamkan untuk selamanya. Dan ulama sepakat tentang keharaman nikah mut’ah, kecuali kelompok Syiah. Lalu Imam al-‘Asqalany menyebut riwayat Imam al-Baihaqy dari Ja’far bin Muhammad (imam keenam Syiah) yang menyatakan bahwa nikah mut’ah itu adalah perbuatan zina. Nauzubillah!
Diposkan oleh Humas UIN Suska Riau
sumber http://syamsuddinmuir.blogspot.co.id/