Ramadan sesuai makna sederhananya adalah pembakaran. Kata Ramadan menyiratkan tujuan pembakaran yang menghanguskan, dan melenyapkan segala yang negatif, keji, dan maksiat. Bulan Ramadan membakar, menghanguskan, dan melenyapkan semua dosa dan angkara murka yang melekat pada diri manusia.
Apabila bulan Ramadan disebut sebagai bulan pembakaran, maka yang dimaksud adalah proses perbaikan dan konstruksi jiwa untuk mengembalikan sifatiyah insaniyah kepada ahsan al-taqwim yang memiliki nafsu al-muthamainnah yaitu dengan membakar dan menghanguskan yang fakhsya, maksyiat, dan mungkar.
Bulan Ramadan disebut juga sebagai syahru maghfirah (bulan ampunan). Di bulan Ramadan pintu ampunan Tuhan terbuka luas, sehingga dosa-dosa dapat terkikis habis. Bulan Ramadan mengantarkan orang-orang beriman ke derajat keshalehan individual dan keshalehan sosial. Setiap individu berpeluang mengumpulkan pundi-pundi pahala yang tiada tara, justeru disebabkan kesempatan beramal saleh terbuka lebar.
Perbuatan negatif yang merugikan pribadi dan sosial masyarakat, dapat dikikis dengan amaliah Ramadan yang istiqamah, konsisten, dan terus menerus. Seorang mukmin membuka diri untuk berinteraksi dengan Tuhannya. Sebaliknya Allah Rabbul Jalil menerima keluhan dalam bentuk apapun dari diri seorang hamba kepada Tuhannya. Realitasnya Allah Azza wajalla membuka pintu taubat dan ampunan selebar langit dan bumi.
Individu diberikan pilihan dalam menangkap peluang beramal shaleh dengan pahala yang besar serta meraih ampunan sang Rabbul Ghaffur. Dalam situasi pilihan yang berharga sebagai tawaran beramaliah Ramadan tidak dapat diindahkan, maka jalan buntu menuju kepribadian paripurna terisolasi dengan sendirinya.
Klinik Ramadan menggiring individual dan sosial keummatan untuk melestarikan nilai-nilai psikologis amaliah Ramadan sebagai upaya preventisasi, kuratisasi, dan konstruksasi dalam menuntaskan perilaku-perilaku keji dan fakhsya’. Pendekatan preventif, (pencegahan dan pengawasan) berorientasi pada perwujudan dan integritas diri melalui pengawasan, pengurangan dan penghindaran diri dari perilaku-perilaku buruk yang dapat mendatangkan dosa dan maksiat.
Pendekatan kuratif (pengobatan dan perawatan) adalah penghindaran diri individu dari ketergelinciran dan keterpurukan terhadap perilaku buruk yang terus-menerus. Dalam proses perawatan dan pengobatan, seorang individu dianjurkan supaya tetap dalam kedisiplinan dan penghindaran diri dari maksiat dan dosa.
Pendekatan kuratif ini adalah upaya penguatan disiplin dalam pengamalan ajaran Islam. Pendekatan rekonstruktif (bimbingan dan pembinaan) adalah upaya perawatan dan pengobatan intensif dengan memperbanyak amalan-amalan shaleh dan menjauhi kemungkinan-kemungkinan terjebak dalam dosa dan kemaksiatan.
Pendekatan rekonstruktif adalah bagian dari manifestasi taubat dengan imbangan amal saleh dan peningkatan keimanan dan ketaqwaan. Apabila tiga pendekatan ini berjalan semaksimal mungkin dapat menjamin psikologis individu lebih baik. Pendekatan preventif, kuratif, dan rekonstruktif memainkan peranan dalam klinikal Islam dapat dilihat misalnya, pada pelarangan minuman keras.
Islam melarang seorang muslim dalam keadaan mabuk mengerjakan shalat sampai dia sadar. Larangan melakukan shalat bagi seorang yang mabuk sehingga sadar dari mabuknya adalah tindakan preventif Islam dalam mencegah umat berperilaku buruk. Apabila seorang muslim tidak dibenarkan melakukan shalat di saat ia mabuk, maka ini adalah sinyalemen bahwa larangan meminum-minuman keras adalah preventisasi bagi individu agar tidak terjebak yang pebuatan fakhsya’.
Islam melarang individu meminum-minuman keras, karena kemudharatan adalah jauh lebih besar dari kemanfaatannya. Larangan yang menyebutkan kemudharatan lebih banyak dari kemanfaatan merupakan metodologi klinikal Islam dengan menggunakan pendekatan kuratif.
Alquran menyebutkan tentang keharaman minuman keras secara tegas dalam firman Allah yang bermaksud: Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras (tuak), judi, berhala dan bertenung, adalah (pekerjaan) keji dan perbuatan syaitan. Sebab itu, hendaklah kamu jauhi, mudah-mudahan kamu mendapat kemenangan (sukses)”.
Ayat ini, menerangkan secara lugas tentang ketegasan Allah dalam pengharaman minuman keras. Dalam psikologi Islam upaya seperti ini disebut sebagai pendekatan rekonstruktif dan rehabilitatif. Peminum khamar adalah pelanggar aturan syariat yang berakibat dosa.
Dosa atas pelanggaran meminum khamar berimplementasi pada perasaan bersalah. Rasa bersalah dapat mengganggu psikologis, bahkan bisa menimbulkan ketegangan, kerisauan, dan ketidakstabilan emosi. Perasaan berdosa dan bersalah yang ditimbulkan oleh perilaku seperti meminum khamar, penggunaan zat-zat adiktif, ataupun narkoba dengan pendekatan preventif, kuratif, dan konstruktif-rehabilitatif hanya dapat diatasi melalui klinikal Islam. Pendekatan psikoterapi Islam melalui preventisasi, kuratisasi, dan konstruksasi-rehabilitasi adalah tahapan-tahapan penyadaran, perawatan, dan pembinaan mental.
Metodologi klinikal Islam seperti yang diilustrasikan pada contoh model Alquran dalam menyelesaikan beban psikologis peminum khamar dapat dijadikan tolok ukur, bahwa muatan pengajaran, bimbingan, dan pengendalian emosi, hingga pada pemberian sugesti untuk mewaspadai bahwa minuman khamar, zat-zat adiktif, dan narkoba lebih besar mudharat ketimbang manfaat baik fisik maupun psikologis.
Ilustrasi contoh model klinikal Islam lain, dapat dilihat pada pelaku seks di luar nikah. Kodrat manusia tidak dapat hidup sendiri, tanpa pendamping untuk berbagi, saling mendengar, saling merasakan, saling mengerti, dan saling memiliki perasaan yang sama merupakan bagian dan sisi kehidupan yang tidak terpisahkan.
Realitas psikologis seperti ini perlu dipenuhi secara wajar dan benar. Apabila pemenuhan kebutuhan ini terhambat, maka individu akan berupaya melakukan protes terhadap dirinya sendiri atau kepada orang lain. Kecenderungan yang kemudian muncul adalah bahwa orang bisa berperilaku di luar kesadaran seperti adegan perkosaan ataupun pelecehan seks yang dilampiaskan pada objek lemah. Perempuan di bawah umur seringkali menjadi objek sentral perilaku seks dalam bentuk ini.
Dalam perspektif psikoterapi Islam, pelaku seks bebas dipandang sebagai orang-orang yang mengalami gangguan kejiwaan yang lebih banyak disebabkan oleh ketidakmampuan individu mematuhi peraturan, pelarangan, dan pengharaman atas perilaku pelanggaran tersebut. Individu yang melakukan pelanggaran merupakan sinyalemen ketidakmampuannya menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Pluralisme masyarakat modern menolak perilaku seks bebas, disebabkan adanya aturan normatif dan budaya yang dilanggar. Psikoterapi Islam memandang perilaku seks bebas sebagai deviasi dan penyimpangan sosial-psikologis, yang ditandai dengan dengan ketidakmampuan menyesuaikan diri dengan elemen kejiwaannya sendiri dan adaptasi lingkungan.
Perilaku menyimpang seperti realitas di atas, di mana individu yang meminum khamar, menggunakan narkoba, serta melakukan seks bebas adalah perbuatan yang dilarang agama, melanggar norma, dan degradasi moral yang harus diselesaikan dengan optimal.
Dalam klinikal Islam perilaku ini dapat dipandang sebagai gangguan kejiwaan, karena ketidakmampuannya mengendalikan emosi, tidak dapat menyesuaikan diri baik dengan elemen kejiwaannya sendiri maupun orang lain, serta telah merugikan dirinya sendiri dan orang sekitarnya.
Bulan Ramadan, seyogyanya adalah bulan pesantren kejiwaan. Orang-orang mukmin dihasung untuk beribadah puasa, tarawihan, tadarussan, dan tadabbur Alquran.
Seiring dengan ibadah yang ikhlas, orang-orang mukmin juga memerlukan konten kesadaran untuk selalu dekat dengan Tuhannya, pengendalian emosi, menahan diri dari maksiat dan dosa, serta menghindari sifat, ucapan, dan perbuatan yang dapat merusak pahala ibadah Ramadan.
Klinikal Ramadan adalah religi terapi kejiwaan, di mana individu beribadah yang ikhlas kepada Allah Azza Wajalla, memasung jiwa dalam kebaikan, meninggalkan perbuatan angkara murka, membelenggu sifat hasad, iri hati, takabbur, pongah, angkuh, berucap kata-kata kotor, mengumpat, dan menggunjing, maka proses terapeutik melalui metodologi klinikal Ramadhan telah bergulir, untuk kemudian individu merasakan kenyamanan, kedamaian, ketenangan, ketenteraman, dan kesehatan mental paripurna.
Individu yang tadinya bersifat hasad, senang melihat orang susah, susah melihat orang senang (penyakit SMS), mengganggu kenyamanan orang lain, menjahili, dan menabur kebencian, maka di masa proses klinikal Ramadhan sifat itu berubah menjadi positif, bahagia melihat orang senang, damai dengan ketenteraman orang, berlaku ma’ruf, dan menabur kasih sayang antar sesama.
Individu yang tadinya takabbur, pongah, angkuh, berucap kata-kata kotor, mengumpat dan menggunjing, maka dalam proses klinikal Ramadan berubah menjadi kebaikan yang memberi maslahat kepada semua orang. Sifat takabbur, pongah dan angkuh berubah menjadi rendah hati. Kebiasaan berucap kata-kata kotor berubah menjadi kata ma’ruf, lembut, dan redha orang yang mendengarnya.
Demikian juga tabiat gunjing dan mengumpat berubah menjadi cerita dan obrolan yang menyentuh kalbu. Inilah klinikal Ramadhan yang dapat melahirkan orang-orang yang beriman, beramal shaleh, dan bertaqwa kepada Allah Rabbul Alamin.