Seorang muslim yang mampu dalam ekonomi, wajib membayar sebagian harta yang dimiliki kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Baik melalui panitia zakat maupun didistribusikan secara langsung/sendiri. Hukum zakat adalah wajib bila mampu secara finansial dan telah mencapai batas minimal bayar zakat atau yang disebut mencapai nisab.
Ada dua bentuk zakat yang ditegaskan dalam nash, yaitu: Zakat fitrah yang berfungsi untuk mengsucikan jiwa, diwajibkan pada tahun ke-2 H (al-a’la : 14) dan zakat mal (harta) yang bertujuan untuk membersihkan harta, diwajibkan pada tahun ke-9 H (at-taubah :60).
Zakat Fitrah
Pengertian zakat menurut bahasa adalah membersihkan diri atau mensucikan diri. Sedangkan pengertian zakat menurut istilah adalah ukuran harta tertentu yang wajib dikeluarkan kepada orang yang memerlukan atau yang berhak menerima dengan beberapa syarat sesuai dengan syariat Islam.
Membayar zakat fitrah atau zakat fitri adalah hukumnya wajib ain yang artinya wajib bagi umat muslim laki-laki, perempuan, tua atau muda. Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu berkata: Rasullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah sebagai penyuci bagi orang yang berpuasa dari perbuatan yang sia-sia dan kata-kata kotor serta sebagai pemberian makanan untuk orang-orang miskin”.
Dari berbagai literatur yang ada dapat disimpulkan bawah syarat wajib zakat fitrah adalah: Orang Islam. Memiliki harta yang berlebih untuk dirinya sendiri dan untuk keluarganya untuk malam siang 1 Syawal. Ada kehidupan pada rentang waktu akhir Ramadan sampai Khatib naik mimbar.
Terdapat beberapa waktu dalam membayar zakat fitrah sebagai berikut: Afdhal (utama), setelah terbenam matahari ahir Ramadan sampai khatib naik mimbar. Jawaz (dibolehkan), sejak awal Ramadan (menurut Imam Syafi’i), tiga atau empat hari menjelang Syawal (menurut Imam Abu Maliki) dan bahkan dapat diberikan sejak atau tahun hijriah jika ada kemaslahatan (menurut Imam Abu Hanifah). Haram, setelah khatib naik mimbar.
Adapun benda yang digunakan dalam berzakat fitrah adalah: Makanan pokok yang dikonsumsi muzakki, dengan analogi makanan pokok di zaman Nabi yaitu kurma atau gandum (seperti hadits Ibnu Abbas di atas), sesuai fungsi thu’matan (untuk mengenyangkan). Dalam hal ini Imam Syafi’i cendrung berpendapat bahwa yang dikenyangkan itu adalah perut. Sedangkan benda yang dapat mengenyangkan perut adalah makanan pokok.
Boleh menggunakan harga makanan pokok demi kemaslahatan. Dalam hal ini Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa lafadz thu’matan dalam hadits di atas bukan sekedar mengenyangkan perut, tapi pakaian, tempat tinggal dan perut, maka pembayaran zakat dapat diberikan dengan harganya agar si miskin dapat membeli pakaian, menyewa atau beli perumahan (tempat tinggal) dan dapat membeli jenis makanan lain, untuk membuat ia bahagia di hari Idul Fitri.
Adapun jumlah atau nilai harga zakat fitrah adalah 1 sha’ (seperti hadits dari Ibnu Umar di atas), nilainya dari hari penelitian adalah setara dengan 4 mud. Sedangkan 1 mud setara dengan 0,6 kg, maka 1 sha’ adalah 4 mud X 0,6 kg = 2,4 kg atau digenapkan menjadi 2,5 kg.
Sedangkan nilai harganya dapat disurvei dari harga terkini dari makanan pokok yang dikonsumsi, sebagaimana yang selalu dirilis oleh Kementerian Agama.
Zakat Profesi
Sebagian ulama memang berpendapat bahwa zakat profesi tidak didukung oleh adanya dalil yang jelas baik yang berasal dari Alquran maupun sunnah. Bahkan, Rasulullah SAW tidak pernah menerapkan zakat profesi di masanya. Sementara sekian jenis profesi dan spesialisasi telah ada. Bahkan sampai sekian abad kemudian, umumnya para ulama pun tidak pernah menuliskan adanya zakat profesi.
Maka bila hari ini ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa tidak ada zakat profesi di dalam syariat Islam, bisa diterima. Sebab dasar pengambilan hukumnya memang sudah tepat. Yaitu tidak diajarkan oleh Rasulullah SAW dan juga tidak dipraktikkan oleh para sahabat beliau bahkan oleh para salafus shalih sekalipun.
Hanya saja tentu terlalu terburu-buru memvonis bahwa pelaksanaan zakat profesi merupakan kerjaan bid’ah hanya karena kita tidak menemukan contoh kongkritnya di masa Rasulullah SAW, tentu tidak sesederhana itu masalahnya. Masalahnya adalah apakah bisa disepakati bahwa semua fenomena yang tidak ada di masa Rasulullah SAW itu langsung dengan mudah bisa dijatuhkan ke dalam kategori bidah?
Sebab bila memang demikian, maka mengeluarkan zakat dengan beras pun tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Sedangkan kita semua di negeri ini dan dikebanyakan negeri muslim, umumnya mengeluarkan zakat fitrah dengan beras. Apakah kita ini pasti ahli ibadah karena tidak berzakat dengan gandum seperti Rasulullah SAW?
Selanjutnya zakat profesi bukanlah hal baru, bahkan para ulama seperti Yusuf al-Qardhawi mengatakan bahwa landasan zakat profesi atau penghasilan itu sangat kuat, yaitu langsung dari Alquran.
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah sebagian dari kasabmu (penghasilanmu) yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu?. (QS al-baqarah : 267)
Maka Nash zakat profesi atau zakat penghasilan adalah Alquran Alkarim sendiri, seperti istilah kasab yang digunakan oleh Alquran Alkarim maknanya adalah berprofesi. Selain itu bahwa profesi di masa Rasulullah SAW itu berbeda hakikatnya, bukan karena dia berprofesi apa atau berdagang apa, tetapi apakah seseorang sudah masuk dalam kategori kaya atau tidak.
Pada hakikatnya adalah memungut harta dari orang kaya untuk diserahkan kepada orang miskin, sebagaimana pesan Rasulullah SAW ketika mengutus Muaz bin Jabal ke Yaman, Rasulullah SAW mengatakan bahwa beritahukan kepada mereka bahwa Allah SWT telah mewajibkan kepada mereka zakat yang diambil dari orang kaya mereka dan diberikan kepada orang miskin di antara mereka. Di masa Rasulullah SAW ada beberapa jenis profesi, namun jika mereka tidak termasuk orang kaya dengan penghasilan yang besar, maka Rasulullah SAW tidak mengambil zakat dari mereka.
Lain halnya dengan masa sekarang ini, yang kita sebut sebagai profesional bisa jadi orang yang sangat kaya dan teramat kaya, melebihi kekayaan para petani dan peternak. Sehingga benarkah Islam tidak mewajibkan zakat orang kaya yang nyata benar kekayaan berlimpah, hanya karena di masa Rasulullah SAW belum ada fenomena itu ?. Tidakkah kita bisa membedakan esensi dari zakat yang utama yaitu mengambil harta dari orang kaya dan diberikan kepada orang miskin ? Ataukah kita terpaku pada fenomena sosial yang ada di masa Madinah saja ?
Nah, argumentasi seperti itulah yang harus diajukan untuk zakat profesi sekarang ini. Dan bila kita secara tenang memahaminya, argumen itu relatif tidak terlalu salah. Paling tidak kita pun harus sadar bahwa kalau alquran surat At-Taubah ayat 60 telah menyebutkan dengan detail, siapa sajakah yang berhak menerima zakat.
Maka untuk ketentuan siapa sajakah yang berkewajiban mengeluarkan zakat, Alquran Alkarim tidak secara spesifik menyebutkannya. Sehingga penentuan siapa sajakah yang wajib mengeluarkan zakat bisa atau mungkin saja berkembang sesuai karakter zamannya. Namun intinya adalah orang kaya.
Penulis dalam hal ini bukan berarti menyalahkan pendapat yang mengatakan bahwa zakat profesi itu tidak ada dan bersikeras mengatakan bahwa zakat profesi itu ada. Sebab biar bagaimana pun, para ulama yang mendukung adanya zakat profesi itu pun tidak sepakat dalam menjabarkan tata aturannya dan juga cara penghitungannya. Mereka tetap masih berbeda-beda dalam hal itu, meski sepakat atas adanya zakat profesi sesuai dengan prinsip di atas.
Ketika kita sudah terarah untuk menyetujui adanya zakat profesi, maka dapat dianalogikan cara pengeluarannya sebagai berikut: Pertama, analogi zakat emas (dinar), karena zat dari penerimaan profesi tersebut adalah uang, dan uang di zaman nabi adalah Dinar (emas) dan Dirham (perak). Yaitu nisabnya 85 gram, (jika 1 gram Rp400.000,-, maka nisabnya Rp. 34.000.000,-).
Kemudian kadar zakatnya 2.5 persen, dan masa zakatnya akhir tahun (analisis pendapat Imam syafi’i tentang zakat emas), atau dapat disetiap bulan (alanisis pendapat Imam Abu Hanifah dengan konsep ta’jil az-zakat apabila ada kemaslahatan), atau setara dengan Rp. 34.000.000 : 12 bulan = Rp. 2.833.333,-.
Tentunya sisa penghasilan yang telah dikurangi dari kebutuhan pokok (sandang, papan dan pangan) setiap bulan/ta’jil az-zakat nya. Karena haul yang dimaksud dari syarat wajib zakat pada dasarnya adalah telah jelasnya sisa harta yang dimiliki dari kebutuhan yang dikeluarkan sepanjang tahun.
Kedua, analogi zakat pertanian. Karena penerimaan hasil profesi adalah masa tertentu/ perperiode (bulan) atau lainnya, sehingga sangat mungkin dianalogikan dengan pertanian yang dizakati setiap panen (surat al-an’am 141). Yaitu nisabnya 5 ausaq. Dalam hasil penelitian 1 wasaq nya = 60 sha’. Jadi 5 ausaq adalah 0.6 Kg X 4 mud X 60 sha’ X 5 ausaq = 720 Kg (gandum yang belum dibersihkan/gabah). Jika diasumsikan harga 1 Kg gabah Rp5000,-, maka 720 Kg X Rp 5000,- = nisabnya Rp3.600.000,-.(Sisa dari keperluan pokok), dengan zakat 5 persen.
Ketiga, analagi syabah (menganalogi dua dalil zakat), yaitu nisab zakatnya seperti pertanian (perpanen/penerimaan gaji dan honor), dan kadar zakatnya seperti emas (dinar).
Dalam rapat kerja nasional (rakernas) Lembaga Amil Zakat Infak Sedekah (LAZIS) Dewan Dakwah di Gedung Menara Dakwah, Jakarta Pusat, Direktur Pemberdayaan Zakat Kementerian Agama RI, diketahui bahwa potensi zakat di Indonesia, menurut penelitian IPB dan Baznas, mencapai Rp217 triliun. Namun penghimpunan di lapangan baru mencapai sekitar Rp2,8 triliun.
Rendahnya penghimpunan zakat ini disebabkan antara lain oleh tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga pengelola zakat (LPZ), profesionalitas LPZ, dan kebiasaan menyalurkan zakat secara langsung oleh muzakki kepada mustahik, dan perbedaan yang sangat signifikan tentang zakat profesi dan harta lainnya. Juga diketahui bahwa undang-undang zakat belum memberikan sanksi pidana bagi wajib zakat yang tidak menunaikan zakat.
Sebaliknya, regulasi memuat pasal pidana bagi pengelola (amil) zakat swasta yang dinilai ilegal. Padahal, masih banyak pengurus yayasan atau masjid, yang menerima dan mengelola zakat langsung dari muzakki.