Dosen Komunikasi Fakultas Dakwah dan Komunikasi
Dalam suatu majelis kita mungkin sering menemukan pribadi yang tidak sepaham dengan kita, bicara tentang suatu hal dan bahkan berapi-api dengan nada tinggi. Tanpa argumentasi yang jelas, dia tetap bertahan dengan pendiriannya bahwa yang dia katakan adalah kebenaran. Kadang dalam ungkapan yang disampaikan tidak jarang ia berani menuding atau bahkan menyalahkan pihak lain yang tidak sependapat dengannya.
Anda, saya dan kita semua mungkin juga pernah punya keluarga, teman bahkan sahabat yang kita sebut keras kepala, dia berprinsip seperti tim sepakbola hebat yang selalu ingin menang, tidak pernah mau seri apalagi kalah tidak pernah ada dalam kamus hidupnya. Kita juga mungkin pernah berkenalan atau bahkan bersahabat dengan orang yang pendiam, dia selalu menjadi pendengar yang baik, namun tatkala diskusi usai dia punya pendapat yang berbeda dari orang kebanyakan. Dia merasa tak mau berdialog atau membantah pendapat temannya karena tidak mau merusak hubungan baik yang sudah terjalin selama ini. Intinya dia mengalienasi dirinya dari pendapat teman-temannya yang mayoritas sekalipun. Dalam diamnya dia tetap punya pendirian.
Kita juga mungkin pernah berdekatan dengan orang yang meski mendengar tapi mengacuhkan pendapat teman atau sahabatnya atau bahkan orang tuannya. Dia menganggap dirinya lebih hebat dari orang yang berpendapat atau memberikan nasehat padanya. Dia bahkan tak segan membantah apa yang disampaikan orang tuanya, sahabatnya, atau bahkan kekasihnya atau orang terdekatnya sekalipun.
Dalam peradaban komunikasi selama ini mungkin kita juga bertemu dengan orang yang tanpa memahami persoalan ikut-ikutan memberi komentar terhadap suatu masalah meski hal itu bukanlah kompentensinya. Baginya berpendapat adalah hak semua orang terlepas yang dia sampaikan itu salah atau benar di mata orang lain. Ada yang menghina ulama, ada yang berani melecehkan pemimpin, ada juga yang suka memberi label hina, kafir, kecebong, anti NKRI, anti Pancasila dan label-label negatif lainnya.
Kita juga mungkin menemukan fenomena ada orang yang mengadu tentang perlakuan tidak senonoh orang lain, dia berkeluh kesah di media sosial, lalu banyak orang yang berkomentar tentang hal itu. Ada yang mendukung langkahnya itu dengan memberikan komentar positif, namun ada juga yang kemudian berkomentar negatif dengan menganggap bahwa perbuatan yang diterimanya adalah sebuah kepantasan atas gaya hidupnya selama ini yang memang memancing orang untuk berbuat kejahatan atau kekerasan.
Dalam konteks komunikasi kita mengenal yang namanya komunikator dan komunikan yakni dua pihak yang terlibat dalam penyampaian dan penerimaan pesan melalui medium tertentu. Hubungan dua pihak inilah yang bisa membuat komunikasi menjadi harmoni atau menjadi anarki. Adalah penting untuk melihat fenomena komunikasi yang memang dinamis dari waktu ke waktu ini guna memperbaiki kualitas hidup kita yang memang membutuhkan kedamaian di tengah hiruk pikuk dunia ini. Saya menyebut semua peristiwa komunikasi yang berlawanan satu sama lain ini sebagai egokomunikasi. Egokomunikasi lahir dari emosi yang tidak terkontrol pada komunikator atau komunikan sehingga masing-masing pihak merasa menjadi pihak yang paling benar daripada yang lain.
Egokumunikasi sesungguhnya lahir dari produk oposisi biner dalam diri manusia yang punya sifat menganggap dirinya di atas orang lain. Dialah yang hebat yang lain bodoh, kaumnya yang berjasa yang lain hanya anjing menggonggong, dialah yang kuasa yang lain budak, dia yang cantik yang lain adalah buruk rupa.
Dalam konteks meningkatkan kepercayaan diri mungkin ini bisa digunakan dalam beberapa kasus seperti keberanian berbicara di depan umum (public speaking), atau dalam menjawab soal ujian dengan beragam referensi yang dimiliki seseorang butuh spirit lebih atau percaya diri bahwa kita punya kemampuan atau setara dengan orang lain. Namun dalam kehidupan komunikasi sehari-hari, terutama komunikasi verbal di kehidupan nyata apalagi dunia maya, kiranya perlu memerhatikan etika untuk menahan egokomunikasi ini. Tujuannya adalah agar kualitas komunikasi yang terjalin tidak berubah menjadi destruktif yakni saling hina dan saling ejek, bullying, atau yang mulai marak terjadi victim blamming yang selalu menyalahkan korban dan menganggap yang dialaminya sebagai sebuah perbuatan biasa saja.
Beberapa hal berikut bisa dilakukan untuk menahan egokomunikasi dalam rangka memperbaiki atau bahkan meningkatkan hubungan antarmanusia. Pertama, senantiasa menghargai pendapat orang lain. Sebagai manusia kita harus memiliki sifat menghargai, bukan menghakimi yang selama ini banyak dilakukan oleh pelaku komunikasi terutama di dunia maya terhadap sosok tertentu yang dibencinya. Sehingga apapun yang orang buat atau katakan meskipun itu kebenaran tetap dianggap sebagai pencitraan, kesalahan, dan mau cari muka di depan umum.
Kedua, cara untuk menghargai orang lain itu antara lain bisa dilakukan dengan menganggap semua orang punya kelebihan, sehingga sebagai manusia biasa kita selalu harus menganggap diri kita punya kekurangan. Alangkah indahnya hidup bila kita menganggap kekurangan kita bisa ditutupi oleh kelebihan saudara kita yang lain. Jika manusia mau sadar diri bahwa dia punya kekurangan, maka pasti dia akan mau menghargai orang lain. Walaupun hal ini membutuhkan proses yang tidak sebentar langsung jadi, namun saya percaya jika rasa ini dipupuk dalam sanubari semua insan maka tidak akan ada lagi saling ejek antarmanusia.
Ketiga, menjaga perkataan dari hal-hal yang buruk. Kadang-kadang dalam hubungan komunikasi kita sehari-hari tidak jarang kita melanggengkan perkataan-perkataan yang kurang pantas kepada sesama manusia. Benar bahwa komunikasi pada intinya adalah persamaan makna selama orang yang memaknai sesuatu itu baik maka tidak ada masalah di dalamnya, namun jika sudah dimaknai tidak baik oleh salah satu pihak di sinilah masalah bisa muncul dan merembet kemana-mana. Perkara makna yang baik yang kedengarannya tidak ada masalah tidak selamanya berlangsung seperti itu, karena adakalanya pihak yang mendengar tidak suka, misalnya bergurau dengan teman sambil memanggilnya Nyet, Njir, atau Kamfret mungkin sehari-hari dia tersenyum mendengar hal itu karena sudah menjadi bahasa pergaulan dan dimaknai bergurau, namun adakalanya dia yang menjadi komunikan tidak suka mendengar hal itu karena sedang dirundung masalah, hal ini juga bisa merusak hubungan dan kualitas komunikasi menjadi buruk. Perkara yang tidak dimaknai sama sudah pasti menyimpan masalah yang besar yang tidak hanya merusak hubungan tetapi juga bisa mengakibatkan peperangan baik kata-kata atau perbuatan.
Keempat, berbaik sangka. Banyak hubungan menjadi tidak baik karena hilangnya kepercayaan antara komunikator dan komunikan. Jika rasa saling percaya tidak ada maka yang muncul adalah dugaan-dugaan yang negatif terhadap lawan bicara. Oleh karena itu penting untuk berfikir positif dalam praktik yang sesungguhnya yakni tidak saling curiga bahwa ada udang di balik batu, ada maksud yang tersembunyi, atau ada misi rahasia yang akan merugikan satu sama lain.
Kelima, menganggap bahwa semua manusia adalah saudara. Manusia yang satu dengan yang lain ibarat sebuah batang tubuh yang jika satu bagian sakit maka seluruhnya akan merasa sakit. Jika kita menganggap semua manusia adalah saudara maka mungkin kita akan merasa bahwa yang kita hina, kita caci adalah saudara kita sendiri, dan itu artinya kita juga menghina diri kita sendiri. Hal ini pasti tidak akan kita lakukan karena itu artinya kita menepuk air di dulang terpercik muka sendiri.
Inilah hal-hal yang sebaiknya kita lakukan untuk menahan egokomunikasi yang selama ini mungkin bersemayam dalam batin kita. Semoga dengan melakukan hal-hal positif, berpikiran positif, dan tidak menyebar pesan-pesan atau berita bohong kita menjadi insan yang juga dinilai positif tidak hanya oleh manusia tetapi juga di mata Allah.SWT. Amin.