Oleh Prof. Dr. Amril (Guru Besar Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Suska Riau)
PERTANYAAN yang bernuansa keraguan, harapan dan kesedihan acap kali mencuat menjelang berakhirnya bulan Ramadan. Misalnya, akankah kita masih diberikan kesempatan bertemu dengan Ramadan tahun depan atau apakah semua ibadah Ramadan yang dilakukan selama ini mendapat tempat dan diterima oleh Allah SWT? Akankah semua perilaku keagamaan dan keberagamaan yang dilakukan selama Ramadan tahun ini akan berlanjut pada bulan-bulan pasca Ramadan baik kuantitas maupun kualitasnya dan seterusnya? Dua pertanyaan pertama amat sulit untuk dijawab karena sepenuhnya berada pada kekuasaan Allah SWT. Sementara yang menarik dan kemungkinan dijawab adalah pertanyaan yang terakhir. Alasannya, karena pertanyaan yang ketiga ini sesungguhnya lebih menyangkut usaha manusia dengan memanfaatkan semua instrumen kemampuan psikisnya, yang memang Allah SWT telah anugerahkan kepadanya terkait dengan kualitas dan kuantitas dan keberlanjutan dari sebuah capaian yang telah didapatkan pada masa-masa berikutnya. Tidak dapat disangkal bahwa keinginan manusia untuk meningkatkan kualitas capaian perbuatannya menjadi baik bahkan terbaik, sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dari keragaman kemampuan yang Allah SWT telah berikan kepadanya. Manusia yang dapat memanfaatkan segala kemampuan ini secara maksimal, maka hasil usahanya akan sesuai dengan apa yang diharapkan, dipertahankan bahkan niscaya pula melampaui hasil yang telah dicapai sebelumnya.
Secara psikis keragaman kemampuan yang Allah SWT telah anugerahkan kepada manusia di antaranya beragam kecerdasan. Diakui bahwa hasil temuan para ahli saintis akhir-akhir ini menyebutkan bahwa beragam kecerdasan dimiliki olah manusia di antaranya kecerdasan intelektual, kecerdasan emosianal dan kecerdasan spiritual yang mengiringi kecerdasan pembiasaan yang telah ditemukan jauh sebelumnya. Tanpa bermaksud mengurangi kemampuan kinerja dan, tulisan ini hanya berfokus pada kecerdasan pembiasaan dan kecerdasan spiritual untuk menelaah perilaku keagamaan dan keberagamaan yang dihasilkan oleh ibadah-ibadah ramadhan khususnya. Dipilihnya kecerdasan pembiasaan dikarenakan kecerdasan ini dapat merlahirkan perilaku sesuai yang diinginkan berdasarkan latihan dan pengulangan. Sementara kecerdasan spiritual dimanfaatkan selain kemampuannya mampu mengendalikan dua kecerdasan lainnya. Yaitu kecerdasan intelektual dan keceerdasan emosional, juga kecerdasan ini mampu membantu untuk memahami makna dan hakekat dari sebuah realitas misalnya tentang pengetahuan atau kebenaran yang telah dipahami. (Wright: 2008). Tambahan lagi kecerdasan ini mampu merefleksikan apa yang telah dihasilkan oleh kecerdasan kebiasaan dan kecerdasan lainnya, sehingga akan melahirkan pemahaman makna yang lebih mendalam dan komprehensif, praktis serta rekonstruktif dari pemahaman makna yang dihasilkan oleh kecerdasan kebiasaan dan lainnya. (Mauchouche, 2019).
Karakter kecerdasan spiritual seperti ini mengindikasikan bahwa kecerdasan ini menjadi penuntun dan penggerak dari pemahaman kecerdasan kebiasaan dan lainnya ke arah yang lebih produktif dan transformatif, tidak saja di dalam kondisi yang telah ditentukan sebagai prasyarat bagi kecerdasan kebiasaan, tetapi juga niscaya melampaui batas ruang dan waktu dari kecerdasan kebiasaan. Puasa Ramadan dengan ibadah-ibadah yang mengiringinya sesungguhnya ditujukan untuk mencapai kualitas manusia insan kamil dengan puncaknya muttaqin. Pencapaian seperti ini tentunya dituntut tidak saja selama bulan Ramadan tetapi juga pada masa pasca Ramadan, namun yang ditemukan umumnya perilaku keberagamaan dan keagamaan shaimun hanya pada masa bulan Ramadan saja. Redup dan berkurang kuantitas dan kualitasnya pada masa pasca Ramadan, meskipun masih ditemukan segelintir shaimun yang terus merawat dan mempertahankan perilaku keberagamaan dan keagamaan mereka pasca Ramadan. Makhluk Kecerdasan Pembiasaan dan Kecerdasan Pemahaman Dimaksudkan dengan kecerdasan pembiasaan adalah semacam kemampuan manusia untuk mengubah perilakunya melalui latihan dan pengulangan dengan memanfaatkan kondisi yang memang diformat untuk terciptanya perilaku yang diinginkan hingga mencapai tingkat kemahiran. Keceerdasan pembiasaan ini secara teoritis dapat dijelas melalui teori belajar behaviorsm yang menyepakati bahwa perilaku manusia merupakan hasil dari pembiasaan, latihan dan pengulangan yang dilakukan pada situasi lingkungan yang memang diformat untuk tujuan perubahan perilaku yang dinginkan. Sehingga perilaku yang diharapkan tampil (respons) sesuai dengan perlakuan (stimulus) yang diberikan. Semua ini berlangsung dalam prinsip mekanistik yang ditenggarai kurang melibatkan kemampuan-kemampuan kecerdasan. (Bigge: 1982). Singkatnya teori behaviorsm lebih menekankan ketepatan perilaku yang diharapkan (respon) dengan permintaan yang diberikan (stimulus), sementara kemampuan kecerdasan dan kemampuan lainnya kurang mendapat tempat bagi teori ini untuk memunculan perubahan sebuah perilaku yang diinginkan. Dimaksudkan dengan kecerdasan spiritual adalah kemampuan manusia memahami pesan-pesan nilai ideal moral dari sebuah kebenaran yang telah diterima atau sebuah perilaku dan pengalaman yang berorientasi pada nilai teologis-metakosmos, ekologis-makrokosmos dan humanis-mikrokosmos yang tidak terikat oleh ruang dan waktu. Kecerdasan spiritual ini secara teoritis juga dapat dijelaskan dengan memanfaatkan teori belajar gestalt-field yang menyepakati bahwa perubahan perilaku itu dimulai dari usaha seseorang menyusun kembali pengalaman yang dimilikinya atau unsur-unsur kemampuan kognitif lainnya sehingga dapat melahirkan sebuah pemahaman baru (insight). (Bigge:1982). Di antara konsekuensinya adalah teori ini sangat menghargai dan menginginkan munculnya pemahaman-pemahaman baru yang signifikan dengan problem dan situasi yag dihadapi. Karenanya perubahan perilaku lebih pada perubahan pemahaman baru (insight), sebagai hasil dari kecerdasan mahami tantangan lingkungan sekitarnya. Tegasnya dapat dikatakan pula bahwa perubaham perilaku sebagai hasil dari pemahaman kecerdasan spiritual tidak lagi tersekat oleh ruang dan waktu di saat pemahaman baru (insight) itu muncul, tetapi pemahaman seperti ini niscaya dapat ditransformasikan dan diakselerasikan di luar ruang dan waktu ketika pemahaman baru (insight) itu muncul. Kemampuan seperti ini sangat memungkinkan muncul karena kecerdasan ini berbasis pada optimalisasi kecerdasan-kecerdasan yang telah dimiliki oleh manusia. Orientasi pemahaman baru (insight) ini akan semakin terarah dan memberi manfaat besar jika kecerdasan seperti ini secara massif sampai pada pemahaman makna dan nilai yang berada dibalik sebuah pengetahuan dan perilaku yang telah dimiliki berdasarkan kecerdasan kebiasaan dan kecerdasan lainnya. Singkatnya bahwa jika kecerdasan pembiasaan melahirkan sebuah perilaku berbasiskan pada pengulangan dan latihan yang terstruktur dan terikat oleh ruang dan waktu yang memang diseting untuk keperluan yang telah ditetapkan, maka pada kecerdasan spiritual pemahaman baru (insight) sebagai basis lahirnya sebuah perilaku itu berbasiskan pada kecerdasan spiritual untuk menggali makna dan nilai di balik pemahaman dan pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya. Puasa Ramadan Ibadah-Ibadah keagamaan dan keberagamaan, dituntut terimplementasikan secara nyata dan terukur dalam perilaku keseharian pemeluknya, bahkan tidak jarang perilaku keagamaan dan keberagamaan ini dijadikan indikator kualitas keagaman dan keberagamaan umat beragama. Namun demikian tidak semua umat beragama mampu mengimplementasikan tuntutan perilaku keagaman dan keberagaman itu, apa lagi diluar waktu dimana ibadah itu ditunaikan. Kondisi seperti ini lah menjadikan perilaku keagamaan dan keberagamaan terpisah tidak sepenuhnya terimplementasikan di luar waktu menunaikan ibadah tersebut. Khusus untuk ibadah-ibadah yang mengiringi kewajiban Ramadan misalnya, salat sunat, bersedekah, menyantuni fakir miskin dan anak yatim, mengekang amarah dan memperkuat kesabaran dan seterusnya yang ditunaikan penuh selama bulan Ramadan, benar-benar telah mengubah wajah perilaku keagamaan dan keberagamaan kita selama bulan ramadhan. Pada bulan Ramadan wajah perilaku keagamaan dan keberagamaan umat sangat meningkat, namun pasca Ramadan wajah perilaku keagamaan dan keberagamaan umat ini menurun dan akan muncul kembali pada Ramadan tahun berikutnya. Ketimpangan yang sangat nyata pada wajah perilaku keagamaan dan keberagamaan umat di bulan Ramadan dengan bulan-bulan pra dan pasca Ramadan sesungguhnya dapat dikurangi apabila ibadah Ramadan dan ibadah yang mengiringinya tidak lagi ditunaikan sebatas pembiasaan dan rutinitas yang hanya dilakukan setiap bulan Ramadan saja. Akan tetapi diiringingi dengan pemahaman yang dalam dan komprehensif terhadap nilai dan makna dari pesan-pesan ideal moral ramadhan. Di antara pesan-pesan nilai ramadhan yang terkandung di dalam ibadah-ibadahnya yang paling kuat seperti, perubahan yang terus berkelanjutan tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu, kebersamaan dan persaudaraan serta peduli sesama tanpa diskriminatif dan seterusnya dalam bingkai nilai dan makna telogis-metakosmos, ekologis-makrokosmos dan humanis-mikrokosmos (Amril M, 2016).
Nilai-nilai Ramadan seperti ini niscaya akan dapat dipahami bila hasil capaian dari kecerdasan pembiasaan ibadah Ramadan diiringi dengan kecerdasan spiritual. Hal ini dikarenakan kemampuan kecerdasan ini memang diperuntukkan di antaranya, menggali dan mendalami nilai-nilai di balik perilaku Ramadan. Kemudian mengarahkannya dalam bentuk perilaku yang produktif dan transformatif yang tidak lagi terikat oleh ruang dan waktu. Dan lebih menariknya lagi perilaku keagamaan dan keberagamaan yang dilahirkan oleh kecerdasan spiritual ini adalah perilaku yang penuh berkesadaran dan penuh tanggung jawab tanpa diiming-imingi oleh tekan dari luar sebagai stimulus lahirnya sebuah perilaku. Kesemua ini dilakukan dengan terus menerus merefleksikan dan merenungakan nilai-nilai Ramadan secara kritis dan transformatif mengiringi kebiasaan yang telah dicapai selama Ramadan ini. Melalui kinerja Ramadan seperti ini niscaya melahirkan perilaku keagamaan dan keberagamaan semisal 1. Kesadaran spiritual; berkesadaran ketuhanan, mengharapkan keridhaanNya, menyesal dan bertobat bila melanggar nilai-nilai keilahiyahan dan kemanusiaan. 2. Tanggung jawab moral; bersabar, berkeadilan dan berintegritas. 3. Belajar terus menerus yang melahirkan; kebajikan nilai-nilai agama, berbagi ilmu pengetahuan (Bensaid, 2018). Singkatnya kecerdasan spiritual niscaya melahirkan perilaku yang berwatak kesadaran nilai teologis-metakosmos, ekologis-makrokosmos dan humanis-mikrolosmos seperti diuraikan di atas.***
Telah Terbit di Riau Pos Tanggal 8 Mei 2021
Link:
https://riaupos.jawapos.com/petuah-ramadan/08/05/2021/250365/meraih-kecerdasan-spiritual.html
Terima kasih telah mengunjungi website kami.