uin-suska.ac.id Kelanjutan agenda pengarahan dan pembinaan karakter mahasiswa penerima beasiswa Dinas Pendidikan Provinsi Riau Tahun Anggaran 2020 untuk sesi III dan IV dengan narasumber mantan Rektor IAIN/UIN Suska Riau serta Mantan Dekan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Suska Riau. Kegiatan yang dilaksanakan secara zoom Rabu, {07/07/2021) dipusatkan di Auditorium lantai V gedung Rektorat UIN Suska Riau UIN Suska Riau. Kedua materi dari Narasumber ini akan mampu membangkitkan semangat para mahasiswa dalam menuntut ilmu di UIN Suska Riau serta menjadi pelopor dan agen perubahan dalam moderasi beragama ditengah-tengah masyarakat.
Materi sesi III dengan tema Integrasi Keilmuan dalam Pembangunan UIN Suska Riau masa lalu, sekarang dan yang akan datang, dengan narasumber Prof. Dr. H. Amir Luhfi yang merupakan mantan Rektor II Periode IAIN/UIN Suska Riau. Beliau juga merupakan pelopor perubahan IAIN menjadi UIN, sehingga cukup banyak usaha dan jasa beliau demi kemajuan UIN Suska Riau. Dimasa beliau menjadi Rektor memulai rencana perubahan IAIN menjadi UIN dan masih masa beliau jadi Rektor juga secara resmi perubahan IAIN menjadi UIN pada tahun 2005
Dalam pemaparannya materinya Prof. Dr. H. Amir Luhfi menceritakan bagaimana lika liku proses perubahan IAIN Menjadi UIN Suska Riau yang saat ini sudah menjadi Universita yang luar biasa. Pada awal proses perubahan, proposal perubahan itu tidak disetujui dan tidak diterima oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (DEPDIKBUD) Republik Indonesia. DEPDIKBUD punya alasan bahwa misi sebuah Universitas sudah dilaksanakan oleh Perguruan Tinggi dibawah DEPDIKBUD. Maka untuk menembus blokade tersebut kami melakukan dan membuat seminar di Jakarta dengan menghadirkan beberapa IAIN yang akan dikembangkan menjadi UIN diantanranya IAIN Jakarta, IAIN Bandung, IAIN Yogyakarta dan IAIN Mataram. Hal ini dilakukan untuk mencari perbedaan substansial antara Universitas pada umumnya dengan Universita Islam Negeri (UIN) yang akan dikembangkan, jelas Prof. Amir.
Akhirnya pertemuan itu terlaksana dan ditemukan rumusan bersama yang membedakan antara Universitas pada umumnya dengan UIN yang akan dikembangkan. Perbedaan itu terletak perbedaan misi, dimana Universitas pada umumnya mengembangkan ilmu pengetahuan itu sendiri sesuai dengan bidang masing-masing, sedangkan UIN selain mengembangkan bidang-bidang keilmuan itu, juga mengembangkan keilmuan yang terintegrasi dengan keislaman. Artinya pertama misi UIN adalah pengintegrasian antara keislaman dengan keilmuan, kedua Pengembangan misi UIN itu bukanlah suatu hal yang mudah, persoalan ini mengandung masalah akademik dan juga ideologis, dan ketiga dalam dunia islam ada pandangan bahwa pengembangan ilmu pengetahuan sudah merupakan pengembangan nilai keislaman itu sendiri, tegas Amir.
Prof. Dr. H. Amir Luhfi berharap agar UIN pada masa yang akan datang perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mendasar seputar bagaimana format yang seharusnya ada tentang pengintegrasian keislaman dan keilmuan, sesuai dengan prinsip-prinsip keislaman itu sendiri dan prinsip-prinsip keilmuan itu sendiri.
Sementara itu Dr. H. Muhammad Syaifuddin, M. Ag. sebagai Narasumber keempat dengan tema Moderasi Beragama dalam Bingkai NKRI. Secara umum bahwa beberapa tahun belakangan kita dunia disibukkan oleh prilaku sebagian kelompok gerakan Islam yang mendukung dan mempraktikkan fanatisme dan radikalisme. Sebagian kecil dari mereka mempraktikkan ekstrimisme dan bahkan terorisme atas nama jihad. Secara historis, ketiga hal ini tidak bisa dilepaskan dari ideologi atau pemikiran Ikhwan al-Muslimun dan Salafi (Wahhabi). Hal ini karena kedua aliran ini menekankan purifikasi ajaran Islam dan pelaksanaannya secara ketat. Salafi lebih menekankan pada purifikasi keesaan Allah (tauhid ulûhiyyah dan rubûbiyyah), sedangkan Ikhwan lebih menekankan pada supremasi hukum Allah dalam negara (tauhid hâkimiyyah).
Dari hal seperti ini mulailah muncul perbedaan-perbedaan yang menimbulkan perselisihan dan konflik-konflik, sehingga mulai merasakan bahwa moderasi beragama itu sangatlah penting. Perbedaan yang ada merupakan sunnatullah, keanekaragaman adalah fitrah bangsa, dan pancasila merupakan cerminan nilai autentik dari masyarakat indonesia, dalam pancasila memuat hal-hal yang sangat penting untuk bekal dan pedoman kita tentang bagaimana seharusnya bersikap dan beretika. jadikan perbedaan sebagai suatu variasi yang mejadi indah dan menjaga keseimbangan dalam kehidupan seperti dunia dicari dan akhirat jangan dilupakan serta menyebarkan kasih sayang yang di kedepankan. Menurut Dr. Syaifuddin ada empat tingkatan dalam moderasi beragama yakni Pertama Ta’adul menyerahkan amanah kepada yang berhak dan menegakkan hukum dengan adil, Kedua Tasamuh, melaksanakan toleransi beragama secara benar, Ketiga Tawazun, menjaga keseimbangan, mengedepankan keserasian, dan keselarasan dalam beragama dan Keempat Tarahum, menebarkan kasih sayang, persahabatan, dan cinta kepada sesama, jelas Syaifuddin,
Sedangkan Dalam buku Moderasi Beragama yang diterbitkan oleh Kementerian Agama RI pada tahun 2019, ditetapkan 4 indikator sikap moderasi beragama, yakni komitmen kebangsaan, toleransi, anti-kekerasan dan akomodatif terhadap kebudayaan lokal. Keempat indikator ini dapat digunakan untuk mengenali seberapa kuat moderasi beragama yang dipraktikkan oleh seseorang di Indonesia.
Penulis : Indah Purnama Sari
Foto: Sukmawati
Editor : M. Huzaini