oleh Dr. Zulkifli, M.Ag (Dekan Fakultas Syariah dan Hukum)
Acara buka puasa bersama (bukber) sudah menjadi bagian dari bulan suci Ramadan di negeri ini. Bukber merupakan agenda rutin yang diadakan oleh ragam kelompok, keluarga besar, atas nama alumni, kawanan yang lama tak bertemu, bahkan civitas akademika perguruan tinggi. Bukber tidak sekadar makan bersama, namun juga dijadikan sebagai momen silaturahmi dan lainnya. Ada yang bertanya-tanya hukum buka puasa bersama menurut Islam. Sebab ada beberapa pihak yang menyebut bahwa buka puasa bersama dapat mengurangi pahala berpuasa.
Pekanbaru Semula, bukber puasa tidak ada salah, justru bisa mendatangkan pahala karena bisa bersilaturahmi. Namun, bukber bisa juga mengurangi pahala mana kala melakukan hal-hal yang dilarang. Bukber pernah dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW, sebagaimana diterangkan lewat Hadis Riwayat Abu Dawud, “Para Sahabat Nabi Muhammad SAW bertanya, ‘mengapa makan tidak kenyang?’ Kemudian, Nabi balik bertanya, ‘Apa kalian makan sendiri?’ Para sahabat menjawab, ‘iya’,” Kemudian Rasulullah SAW menjawab lagi, “Makanlah kalian bersama-sama dan bacalah basmalah, maka Allah SWT akan memberikan berkah kepada kalian semua,” (HR Abu Dawud).
Sahabat Nabi Muhammad SAW pernah menyebut kalau Rasululllah SAW tidak pernah makan sendirian. Nabi Muhammad SAW juga pernah bersabda bahwa sebaik-baiknya makanan adalah yang dimakan dengan banyak tangan. Anjuran Nabi Muhammad SAW bahwa makan bersama-sama itu banyak berkahnya yang meliputi rasa kebersamaan dan menjadi silaturahmi.
Ada kebersamaan, rasa syukur, silaturahmi, dan interaksi atau komunikasi langsung antar-manusia. Meski dianjurkan Nabi Muhammad SAW, acara bukber bukan berarti diwajibkan dan bukan merupakan ibadah dan tidak boleh diyakini sebagai ibadah. Hal tersebut tertuang firman Allah SWT, “…Tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau sendirian,” (QS. An Nur: 61).
Walaupun demikian, bukber hendaknya hanya dilakukan untuk puasa wajib atau saat Ramadan. Karena bila buka puasa bersama dilakukan saat menjalankan puasa sunah, maka hukumnya tentu menjadi makruh karena potensi ria atau ingin dilihat orang lain dan juga sum’ah atau ingin didengar orang lain karena beramal lebih dari yang lain.
Bahwa bukber diperbolehkan dan bisa mendatangkan pahala serta turut menjalankan sunah. Namun, kondisinya akan berbalik jika acara bukber diselingi dengan hal yang dilarang Allah SWT. Karena sebab buka bersama, tidak mendirikan Salat Magrib, terjadi khalwat (percampuran/berdesak-desakan laki-laki dan perempuan bukan muhrim), pertemuan rekan lama yang berefek negatif, termasuk penyimpangan yang sering terjadi adalah seperti tidak menyegerakan berbuka karena sibuk antre makanan dan membicarakan keburukan orang lain. Terlebih saat ini negeri kita sedang awas terhadap pandemi Covid-19, menjadi sangat baik apabila menghindari hal-hal yang belum tentu berarti: Darúl mafaasid muqaddam ala jalbil mashaalih. (menghindari kerusakan lebih utama dari pada berharap adanya kebaikan).
Ambilllah pilihan berbuka yang lebih berarti, sendiri atau bersama serta bersilaturahmi dan mensyukuri tanpa harus melanggar syariat, sembari merenungi bahwa masih banyak orang miskin dan duafa yang tak bisa berbuka puasa dalam sendiri atau bersama, karena tidak ada yang mampu dibeli dan tidak ada yang peduli. Sejatinya puasa dan rasa syukur berbuka, mengantarkan hamba menjadi sangat penduli untuk membantu sesama, karena tak makan dan minum hanya sepanjang siang sungguh sangat berat dan menghantam semua urat sendi. Apalagi tidak makan berhari-hari, seperti yang dialami orang miskin. Kepedulian hamba yang berpunya akan menghantarkan pemerataan nikmat Allah SWT di permukaan bumi.***
Telah terbit di Riau Pos edisi 15 April 2022