uin-suska.ac.id Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) XXI yang diselenggarakan di Bali tanggal 1-4 November 2022 adalah lanjutan dari program yang sama yang diselenggarakan di Lombok, tanggal 20-22 Oktober lalu mengangkat tema “Future Religion in G-20, dengan tiga isu utama, yaitu Digital Transformation, Knowledge Management, dan Social Resilience. Dalam sambutannya pada pembukaan AICIS, Direktur Jenderal Pendidikan Islam (Dirjen Pendis) M Ali Ramdhani menyatakan, pembahasan terkait tema ini dimaksudkan untuk merespon perkembangan terkini wacana dan tuntutan kajian keislaman kontemporer di tingkat nasional dan global. Menurut Dirjen Pendis tersebut, agama hadir untuk memberikan kedamaian dan harmoni sosial antar umat manusia. Agama mengajarkan potret wajah orang yang ramah bukan marah. Agama seperti itulah yang harus hadir di hidup kita.
Saat ini menurut sang Dirjen, kita berada di era Volatility, Uncertainty, Complexity and Ambiguity (VUCA). Istilah ini juga dapat digunakan untuk kata sifat gejolak, tidak pasti, kompleks, dan ambigu. Kata volatilitas, mengacu pada perubahan yang cepat dan singkat, yang menyulitkan seseorang atau kelompok untuk memprediksi apa yang akan terjadi selanjutnya. Volatilitas menggambarkan kehidupan yang bergejolak, menunjukkan gejala dunia yang penuh ketidakpastian yang terjadi saat ini. Untuk itu, agama harus hadir menjadi solusi atas ketidakpastian ini.
Era VUCA merupakan kondisi ketika kemajuan industri dan teknologi merupakan hal yang memegang peranan penting. Namun, selain teknologi, agama juga harus mampu mengoptimalkan perannya dalam membangun pesan-pesan ketuhanan (divinity) dan kemanusiaan (humanity) serta membangkitkan spirit untuk kemajuan peradaban umat manusia masa depan. Mengingat banyak orang yang memuja-muja agama tapi tidak melakukan ajaran keagamaan. Tak sedikit orang mengaku dirinya sebagai orang yang paling beriman tapi perilakunya jauh dari nilai-nilai keimanan. Kebanyakan orang mempertukarkan nilai-nilai agama dengan memperuntungkan diri kepada sekat-sekat yang seharusnya hadir membawa rasa cinta justru hadir untuk membuat perbedaan di antara kita. Di sinilah urgensi rekontekstualisasi kajian Islamic studies melalui wahana-wahana akademis dan intelektual agar dapat menghadirkan agama sebagai solusi atas persoalan ini.
Kegiatan AICIS yang menghadirkan para pakar dari dalam dan luar negeri ini melahirkan dokumen Bali yang berisikan sembilan poin rekomendasi untuk kemajuan peradaban dunia untuk kesejahteraan masyarakat dalam beragama baik untuk masa kini maupun masa depan. Intinya adalah keberpihakan kajian Islam untuk memperkuat dan mendorong kemajuan pendidikan tinggi sebagai pusat penelitian yang peduli pada kebijakan publik, yaitu:
1. Agar tertanam dalam kesadaran manusia untuk menyadari keterbatasan dan potensi mereka. Dalam konteks itu, agama masa depan perlu menciptakan cara berpikir baru dan solusi kreatif yang perlu direaktualisasi dan dikontekstualisasikan setiap saat: al-hukm yaduru ma’a illatihi wujudan wa ‘adaman.
2. Digitalisasi tidak dapat dihindari dan tidak dapat dihentikan dalam segala aspek kehidupan sehari-hari kontemporer. Agama masa depan harus membekali pengikutnya dengan pola pikir digital yang tepat dan literasi digital yang memadai, untuk memastikan bahwa transformasi digital berlangsung secara sistematis, tepat dan transformatif, untuk memelihara kemanusiaan yang lebih baik.
3. Pengetahuan yang tepat dan relevan adalah elemen yang sangat mendasar dari perkembangan semua masyarakat. Agama masa depan harus memastikan bahwa pemeluknya terus mencari, memperluas, dan memperdalam ilmu yang relevan dengan memperkuat budaya pembelajaran, sistem pendidikan, dan program pendidikan agama, serta memberdayakan mereka dengan karakter yang kuat dan pandangan dunia yang kosmopolitan.
4. Untuk menjamin bahwa ajaran agama dijelaskan dan dipahami secara empiris dan kontekstual, harus dipastikan bahwa semua kategori program pendidikan up to date, relevan dengan kebutuhan kontemporer masyarakat digital, dan properti yang dirancang.
5. Agar mengintensifkan kegiatan keagamaan yang dapat meningkatkan kemampuan masyarakat untuk menoleransi, menyerap, mengatasi dan menyesuaikan diri dengan berbagai macam ancaman lingkungan, ideologi dan sosial.
6. Agama masa depan harus berdiri bersama untuk mencegah segala bentuk intoleransi agama, radikalisme dan ekstremisme, dan | mempromosikan moderasi agama dengan mempromosikan pendidikan agama yang tepat, keadilan ekonomi dan keadilan politik.
7. Agama masa depan harus memastikan bahwa semua masyarakat memiliki kapasitas untuk mengatasi dan mengatasi ancaman langsung, | belajar dari pengalaman masa lalu, mengantisipasi risiko masa depan dan menyesuaikan mata pencaharian mereka, berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan, dan mengembangkan lembaga yang meningkatkan kesejahteraan individu dan mendorong ketahanan masyarakat terhadap krisis di masa depan. Dalam konteks ini, peran masyarakat sipil dan perempuan harus terus diperkuat.
8. Modal sosial dan jaringan sosial memainkan peran kunci dalam membangun dan memelihara ketahanan sosial. Oleh karena itu, penting bagi agama di masa depan untuk mengatasi masalah ini secara konsisten, untuk meningkatkan pemahaman pribadi dan kolektif serta — kesadaran akan pentingnya membangun dan memelihara modal sosial dan jaringan sosial di tingkat lokal, nasional dan internasional.
9. Atas dasar ukhuwwah Isiamiyyah, ukhuwwah wataniyyah dan ukhuwwah bashariyyah, agama masa depan harus bersatu | dan bekerja sama, untuk membekali umatnya dengan kapasitas dan kredibilitas yang diperlukan untuk memajukan perdamaian, mengelola kehidupan yang damai, dan pada akhirnya mencapai nilai yang sangat mendasar dari agama sebagai rahmat bagi alam semesta (rahmatan Ii’l ‘alamin).
Bersamaan dengan AICIS, PBNU menyelenggarakan Religion Twenty (R.20) pada 2-3 Nopember 2022 dengan menghadirkan para pemimpin agama dunia mengangkat tema “Revealing and Nurturing Religion as a Source of Global Solutions: A Global Movement for Shared Moral and Spiritual Values”. R.20 menjadi bagian dari rangkaian kegiatan menuju peringatan Satu Abad NU. Forum tersebut juga sengaja digelar beriringan dengan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20.
R. 20 diselenggarakan untuk merumuskan agama sebagai inspirasi bagi kehidupan antar agama secara global. Para pemimpin agama dunia juga diajak bersama-sama memerankan agama secara aktif dalam membangun peradaban umat, dan menjadi inspirasi (bukan aspirasi) bagi membangun tatanan kehidupan yang harmoni bukan sebaliknya menjadi bagian dari masalah itu sendiri.
Sementara itu KTT G20 akan berlangsung pada 15-16 November 2022 yang mengambil tema Recover Together, Recover Stronger. Melalui tema tersebut, Indonesia ingin mengajak seluruh dunia untuk bahu-membahu, saling mendukung bagi pemulihan ekonomi bersama serta tumbuh lebih kuat dan berkelanjutan.
Sebagai anggota forum G20, Indonesia dapat memperoleh manfaat dari informasi dan pengetahuan lebih awal tentang perkembangan ekonomi global, potensi risiko yang dihadapi, serta kebijakan ekonomi yang diterapkan negara lain terutama negara maju.