Oleh Prof. Dr. H. Ilyas Husti, MA (Direktur Program Pascasarjana UIN Suska Riau)
Tawaduk dalam arti yang sederhana adalah rendah hati atau tidak sombong.Tawaduk dalam pandangan yang lebih luas merupakan sikap dan perbuatan manusia yang menunjukkan adanya kerendahan hati, tidak sombong dan tinggi hati, serta tidak mudah tersinggung. Al-Qur’an memberikan gambaran tentang tawaduk tersebut seperti yang terdapat dalam Surah Al-Furqan Ayat 63: “Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.
Orang yang tawaduk adalah orang menyadari bahwa semua kenikmatan yang didapatnya bersumber dari Allah SWT. Dengan demikian orang tawaduk tidak akan pernah merasa terbersit sedikitpun dalam hatinya kesombongan dan merasa lebih baik dari orang lain, tidak merasa bangga dengan potensi dan prestasi yang sudah dicapainya. Puasa menjadikan manusia lebih tawadhu dan berpuasa merupakan salah satu cara membuat hati lebih tawaduk, tunduk atas perintah Allah SWT. Puasa sebagai momen menahan diri dari segala gejolak emosi serta keinginan yang mengarah pada keburukan, akan terhalang dengan adanya puasa. Sehingga, berpuasa bisa menjadi latihan bagi hamba agar bersikap tawaduk.
Seorang muslim haruslah memiliki sifat tawaduk, karena sifat ini yang dimiliki Rasulullah SAW. Tawaduk merupakan sifat seorang muslim sejati, tidak merasa paling baik dan selalu rendah hati, bahkan sifat demikian telah banyak dicontohkan Rasulullah SAW dalam kehidupan bermasyarakat. Ada beberapa ciri yang dapat diketahui tentang ketawadukan seseorang antara lain ; pertama, lebih memilih tidak dikenal daripada dikenal (menjadi orang yang terkenal). Kedua, bersedia menerima kebenaran dari siapa saja datangnya, tidak peduli status sosial mereka. Ketiga, menyayangi fakir miskin, bahkan tidak segan-segan untuk duduk bersama kaum fakir miskin. Keempat, bersedia mengurus kepentingan orang lain dengan sebaik-sebaiknya. Kelima, mengucapkan terima kasih kepada orang yang sudah melaksanakan kewajibannya dan memberi maaf kepada mereka yang mengkhianatinya.Orang yang tawaduk akan mendapatkan keuntungan atau manfaat dalam kehidupannya. Di antara keuntungannya itu adalah, pertama, mendapat simpatik dari banyak orang. Kedua, mempunyai banyak teman. Ketiga, dihormati orang-orang ketika hatinya selalu tenteram dan tenang. Keempat, terhindar dari sifat sombong atau takabur. Imam Al-Ggazali dalam kitabnya Bidayat Al-Hidayah menjelaskan ada lima upaya yang harus dilakukan dalam mencapai sifat tawaduk.
Pertama, apabila melihat orang yang masih muda, maka katakanlah dalam hati bahwa orang ini belum banyak durhaka kepada Allah sedangkan aku sudah banyak durhaka, sehingga orang ini tidak diragukan lagi bahwa dia pasti lebih baik dariku. Kedua, apabila melihat orang yang lebih tua, maka katakanlah dalam hati bahwa orang ini sudah beribadah sebelum aku, dengan begitu tidak diragukan lagi bahwa dia lebih baik dariku. Ketiga, apabila melihat orang alim (berilmu), katakanlah dalam hatimu bahwa orang ini sudah diberi kelebihan oleh Allah, dan kelebihan yang diperolehnya tidak diberikan Allah kepadaku. Dia menyampaikan suatu kebaikan kepada orang lain sedangkan aku tidak menyampaikannya. Dia tahu hukum-hukum yang tidak aku tahu, sehingga dia jauh lebih alim dari padaku.
Keempat, apabila bertemu bertemu dengan orang bodoh, kurang ilmu dan wawasan, maka katakanlah dalam hatimu, bahwa orang ini durhaka kepada Allah kerana ketidaktahuannya. Sedangkan aku durhaka kepada Allah dengan pengetahuanku. Maka hukuman Allah kepadaku lebih berat dibanding orang ini. Dan aku tidak tahu bagaimana akhir hidupku dan akhir hidup orang ini. Kelima, apabila melihat melihat orang kafir, maka katakanlah dalam hatimu, bahwa aku tidak tahu, boleh jadi dia akan masuk Islam dan mengisi akhir hidupnya dangan amal kebaikan, dan dengan keislamannya itu dosa dosanya keluar dari dirinya seperti keluarnya rambut dari timbunan tepung. Sedangkan aku, boleh jadi tersesat dari Allah (karena ujub memuja diri dan memandang rendah orang lain) dan akhirnya menjadi kafir, dan hidupku berakhir dengan amal buruk. Orang seperti ini boleh jadi besok menjadi orang yang dekat dengan Allah dan aku menjadi orang yang jauh dari Allah. Inilah yang diingatkan Allah dalam Surah Al- Najm Ayat 32 yang terjemahannya. “Maka janganlah engkau menilai dirimu lebih suci (dibanding orang lain). Dia (Allah) lebih tahu siapa orang-orang yang bertakwa “ .
Telah dipublikasikan pada Riau Pos Edisi 6 April 2023