Dalam firman yang memuat perintah Allah kepada orang beriman untuk berpuasa dijelaskan bahwa tujuannya ialah agar mereka lebih bertaqwa. Orang yang bertaqwa sebagaimana dapat kita baca pada ayat-ayat pertama surat al-Baqarah adalah mereka yang beriman kepada yang gaib, menegakkan salat, mendermakan sebagian harta yang dikaruniakan Allah kepada mereka, percaya pada ajaran yang diturunkan kepada Nabi SAW dan yang diturunkan kepada sebelum beliau. Kelima indikasi taqwa itu dapat diinterpretasikan sebagai beriman secara an sich (dengan menerima kenyataan adanya kenyataan gaib), beribadah sebagai usaha melakukan pendekatan diri kepada Allah, memiliki kesadaran tentang tanggung jawab sosial, mengakui adanya kontinuitas dan kesatuan ajaran kebenaran dalam agama-agama sepanjang zaman, dan kesadaran akan tanggung jawab pribadi di hadapan Tuhan pada Hari Akhir nanti.
Dari kelima unsur yang menjadi indikasi taqwa itu, unsur keyakinan kepada yang gaib menjadi tekanan utama peneguhannya melalui ibadah puasa. Sebab, dari semua ibadat, puasa adalah ibadat yang paling pribadi, personal, atau privat, tanpa kemungkinan bagi orang lain untuk dapat sepenuhnya melihat, mengetahui dan apalagi menilai. Dalam sebuag hadis Qudsi disebutkan: Puasa adalah untuk-Ku semata, dan Akulah yang menanggung pahalanya”. Artinya, pada dasarnya tidak ada yang tahu bahwa seseorang berpuasa selain Allah (dan dirinya sendiri). Tetapi orang itu “tidak perlu kuatir” jika puasanya tidak diketahui orang lain atau karena orang lain menduga bahwa dia tidak berpuasa, karena Tuhanlah yang menanggung pahalanya.
Maka pertanyaannya adalah mengapa orang bersedia menahan lapar dan dahaga serta segala pemenuhan kebutuhan biologis lainnya, padahal dia dapat melakukan itu semua kapan saja secara sembunyi-sembunyi, tanpa diketahui orang lain? Jawabannya adalah karena ia mempunyai keyakinan sedalam-dalamnya akan ke-Maha Hadiran (omnipresence) Tuhan, bahwa Tuhan selalu menyertainya, melihat dan mengawasinya. Dengan demikian, puasa sebagai ibadah yang sangat privat itu merupakan latihan akan kesadaran ke-Maha Hadiran Tuhan kapanpun dan dimanapun seseorang berada. Kesadaran inilah yang melandasi ketaqwaan yang menjadi misi utama dan tujuan ibadah puasa yang kemudian meluas pada nilai-nilai hidup lain yang amat tinggi seperti bertingkah laku yang baik dan terpuji. Dengan puasa yang dijalankan dengan kesadaran yang mendalam akan kehadiran Tuhan itu, seseorang dilatih untuk mampu mengendalikan diri dari desakan memenuhi kebutuhan biologis yang menjelma menjadi dorongan “hawa nafsu”. Dalam literatur kesufian disebutkan ada sembilan pintu hawa nafsu: satu pintu pada mulut, dua pada hidung, dua pada mata, dua pada telinga, satu pada kemaluan dan satu pada dubur. Sungguh sia-sialah puasa orang yang tidak dapat menahan kesembilan pintu hawa nafsu tersebut. Artinya sia-sia saja seseorang berlapar-lapar dan menahan dahaga namun tetap melakukan tindakan yang buruk seperti berbohong, memfitnah, bersikap menyakiti orang lain dan seterusnya. Hal ini sangat logis, mengingat sadar akan kehadiran Tuhan dalam hidup adalah moralitas yang tinggi, budi pekerti luhur atau al akhlaq al-karimah. Kesadaran spiritual berupa perasaan selalu dilihat dan diawasi Allah, dalam Islam, sama dengan ihsan yang melahirkan sikap pengendalian diri yang kuat, jujur, tanggung jawab, amanah, sabar, ridha dan tawakkal. Saat berpuasa, seseorang dilatih mengendalikan diri (self control) dan menahan nafsu, yang misinya meningkatkan daya tahan mental dalam menghadapi berbagai stress kehidupan dan berimplikasi sangat penting bagi kesehatan jiwa.
Selain itu, rasa lapar dan dahaga yang diderita orang yang berpuasa selama sebulan penuh diharapkan dapat menimbulkan rasa iba, simpati dan empati terhadap penderitaan orang lain yang tidak dapat memenuhi kebutuhan pangannya. Inilah misi sosial dan humanis yang diharapkan terbentuk dari puasa, yaitu kepedulian sosial yang ekspresinya terimplementasi dalam bentuk menolong meringankan beban kaum dhu’afa melalui zakat, infaq dan sedekah.
Dari uraian di atas terlihat betapa puasa mempunyai misi meningkatkan kualitas hubungan vertikal dengan Sang Maha Pencipta (hablun minallah) sekaligus hubungan horizontal antar sesama manusia (hablun minan nas) baik dalam hubungan keluarga, masyarakat maupun relasi dan interaksi sosial di dunia kerja. Penyebutan keterkaitan “iman” dan “amal shaleh” terdapat dimana-mana dalam Kitab Suci. Begitu juga hubungan antara “taqwa” dan “akhlaq” terdapat dalam sebuah hadis Nabi SAW bahwa “ yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam surga ialah taqwa kepada Allah dan akhlak yang baik. Akhirnya, ketercapaian misi spiritual dan humanis puasa Ramadhan pada diri seseorang akan terlihat pada kecerdasan spiritual dan kecerdasan emosionalnya atau ibadah, prilaku dan kepribadiannya pasca Ramadhan.
Wallahu a’lamu bi al-shawab.
Penulis : Prof. Dr. Hj. Helmiati, M.Ag