Post Views: 112,920
Di dalam Islam keberadaan manusia dalam menjalani kehidupannya sesungguhnya diukur dari seberapa baik kualitas fungsinya dijalankannya pada posisi apapun, baik secara personal maupun sosial. Bila seseorang dapat menjalankan fungsinya sesuai dengan yang telah diberikan kepadanya, maka orang tersebut dikatakan berhasil, Sebaliknya seseorang dikatakan gagal dalam perjalanan kehidupannya bila tidak mampu menjalankan fungsi yang telah dimanahkan kepadanya. Kegagalan disini tidak saja mencederai perjalanan kehidupan dirinya secara personal, akan tetapi juga perjalanan kehidupan sosial masyarakatnya yang sangat luas.
Perjalanan keberadaan kehidupan seseorang itu, sejatinya tidak dapat dipisahkan dari apa yang disebut theo-sosio-ekologis yakni sebuah perjalanan kehidupan seseorang itu dikatakan baik, baik dari sisi perilaku, pikiran dan sikapnya yang berjalan dibawah rekognisi agama dan sosial etis dan ekologial etis sebagai satu kesatuan. Tegasnya perjalanan kehidupan seseorang yang berwatak theo-sosio-ekologis ini sesungguhnya merupakan cerminan nyata dari perilaku, pikiran dan sikapnya dalam bingkai pesan-pesan moral agama demi kebajikan sosial etis dan sosial ekologis.
Dalam perspektif theo-sosio-ekologis Islam, setidaknya ada tiga fungsi manusia yang telah diamanahkan oleh Allah swt, yaitu fungsi ‘Abid. Khalifah fi Ardh dan Imarah al-Ardh yang bekerja secara berjalin kelindan (Raghib al-Isfahani,1098 M). Keterjalinan kelindanan tiga fungsi manusia qur’anik ini niscaya akan menghasilkan perjalanan kehidupan manusia yang taat dan tunduk pada ajaran-ajaran agama di ranah ibadah-ibadah mahdah maupun di ranah ibadah ummah atau mu’amalah yang menuntut kereativitas dan inovatif. Sedemikian rupa dari dua ranah ibadah ini niscaya melahirkan kehidupan umat manusia yang rahmatan lil’alamiin, yaitu kehidupan umat manusia yang berkesadaran tunduk dan patuh pada semua perintah dan larangan-Nya dan berinteraksi sosial di bawah payung sosial etis yang transformatif-etis serta berelasi produktif-etis dengan alam beserta isinya di dalam kehidupan nyata manusia.
Sebaliknya kegagalan menjalankan tiga fungsi manusia qur’anik ini secara bersamaan dan komprehensif, hanya akan melahirkan produk kerja yang kontra produktif, bahkan kontradiktif antara hasil karya dari masing-masing tiga fungsi manusia qur’anik ini, sedemikian rupa secara akumulatif perjalanan kehidupan manusia niscaya akan berada dalam suasana kepincangan dan jomblang, bahkan produk kerja dari tiga fungsi manusia ini akan mudah berbenturan dan menyulut resistensi teologis, sosial dan ekologis.
Tiga fungsi qur’anik manusia ini antara lain : ‘Abid, Khalifah fi al-Ardh dan Immarah al-Ardh
Pertama: Fungsi ‘Abid. Dimaksudkan dengan fungsi ini adalah menuntut setiap manusia berperilaku, berfikir dan bersikap taat dan patuh terhadap segala perintah dan larangan-Nya, dimulai dari menunaikan ajaran-ajaran Islam yang telah begitu adanya yakni ibadah pada ranah ibadat mahdah atau disebut juga ahkam syari’ah, kemudian menunaikan ibadah pada ranah ibadat ‘ammah atau disebut juga makarim syari’ah. Ibadah-ibadah pada ranah pertama secara umum dipahami bersifat dogmatis, sedangkan ibadah-ibadah pada ranah yang kedua secara umum dipahami terkait dengan ibadah tatacara interaksi sesama manusia dan lingkungan ekologisnya dan seumpamanya. Mengingat ibadah pada ranah kedua ini sangat luas dan bertujuan untuk memperelok ibadah pada ranah pertama, maka ia bersifat fleksibel, kreatif dan inovatif.
Untuk kepentingan tulisan ini dimaksud dengan fungsi ‘abid manusia qur’anik ini adalah melaksakan ibadah-ibadah mahdah atau ahkam syari’ah, sedangkan untuk dua fungsi manusia qur’anik lainnya, yaitu khalifah fi al-ardh dan immarah al-ardh termasuk pada ibadah-ibadah ‘ammah/ mu’amalah atau makarim syari’ah. Pemahaman seperti ini mengindikasikan bahwa tiga fungsi manusia qur’anik ini sesungguhnya merupakan aktivitas ibadah.
Secara eksplist fungsi ‘abid manusia qur’anik ini disebutkan dalam surah az-Zariyat ayat 56 : “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku” Fungsi manusia qur’anik ini, sesungguhnya menempatkan manusia menjadi manusia patuh dan tunduk tanpa pamrih untuk menunaikan ibadah mahdah, terkecuali ada illat yang menjadikan sebuah ibadah mahdah atau ahkam syari’ah tidak ditunaikan untuk masa dan tempat tertentu.
‘Abid sebagai fungsi manusia qur’anik ini sesungguhnya diantaranya adalah menjaga dan mengembangkan watak pengakuan premordial manusia yang memang telah dianugerahkan oleh Allah swt pada masa pranatalnya. Pada masa ini secara serta merta setiap anak manusia meyakini bahwa Allah swt itu sebagai Dzat yang unik dan tidak satu makhluk manapun menyerupai-Nya, yang mesti disembah serta taat dan patuh terhadap semua perintah dan menjauhi larangan-Nya.
Memberikan fungsi ‘abid kepada manusia oleh Allah swt, mengindikasikan pula bahwa manusia adalah makhluk yang niscaya mampu menjalankan dua fungsi lainnya yaitu khalifah fi al-ardh dan immarah al-ardh. Dikatakan demikian bukankah ketaatan dan kepatuhan kepada Allah swt sebagai karakter dasar pada fungsi ‘abid merupakan prasyarat dan penguatan keberhasilan dua fungsi manusia lainnya ini. Kecuali itu, fungsi ‘abid ini akan menjadi dasar dan orientasi kerja bagi dua fungsi manusia lainnya. Sedemikian rupa berperilaku, berfikir dan bersikap manusia yang dilahirkan dari dua fungsi manusia qur’anik ini niscaya akan melahirkan kebaikan dan kebajikan yang ilahiyah dalam berkehidupan personal-sosial etis dan berperadaban yang ekologial etis yang berkeadilan.
Kedua: Dimaksudkan dengan fungsi manusia qur’anik khalifah fi al-ardh adalah fungsi yang berorientasi dan mendasari berperilaku, berfikir, bersikap yang lebih mengedepankan kemaslahatan sosial etis tanpa mengurangi kemaslahatan personal etis dalam perjalanan kehidupannya. Fungsi manusia yang satu ini, diantaranya secara eksplisit disebut pada surah al-‘Araf ayat 129, “… dan menjadikan kamu khalifah di bumi maka Dia akan melihat bagaimana perbuatanmu”
Menurut kajian etika Islam khalifah fi al-ardh adalah manusia yang memiliki akhlak mulia yang secara potensial bersumber dari sifat-sifat Allah swt yang memang telah dianugerahkan-Nya, meskipun tidak akan pernah sama persis, kepada manusia pada masa pranatalnya. Akhlak mulia ini hidup dan berkembang dalam kehidupan manusia selama ia terus menerus melaksanakan thaharah al-nafs terhadap tiga kekuatan jiwanya, yaitu berfikir, emosi dan syahwat. Tiga kekuatan jiwa ini dicatat juga sebagai basis lahirnya berperilaku, berfikir dan bersikap. Jadi khalifah fi al-ardh dalam kajian khazanah etika Islam sesungguhnya adalah sebagai penanda bahwa seseorang itu berakhlak mulia yang diaktualisasikan pada perilaku, berfikir dan bersikap yang tidak berseberangan dengan sifat-sifat Allah dalam kehidupannya.
Pemberian fungsi manusia qur’anik yang kedua ini sesungguhnya dapat dipahami tidak saja bertujuan untuk mempertahankan tumbuh dan berkembangnya sifat-sifat mulia ilahiyah dalam diri manusia, tetapi juga fungsi ini menempatkan manusia bertanggung jawab bagi keberalangsungan akhlak mulia dalam perjalanan kehidupannya.
Di era globalisasi saat ini penguatan fungsi manusia qur’anik sebagai khalifah fi al-ardh sungguh sangat amat dibutuhkan, karena tidak saja semakin mudahnya interaksi sosial antara orang perorang atau antar perkelompok dalam lingkup yang lebih luas tanpa mengenal batas ruang dan waktu, tetapi juga era ini ditenggarai oleh banyak ahli merupakan era ketidak pastian, cepat berubah dan teramat plural yang sangat mudahnya resistensi sosial meletup dan meledak di tengah-tengah masyarakat.
Kondisi sosial seperti ini tentunya sangat menuntut kematangan sosial etis, khususnya dalam perbuatan, berfikir dan bersikap bagi setiap individu dan kelompok dalam perjalanan kehidupannya saat ini. Tanpa adanya kematangan sosial etis di dalam masyarakat, maka kegaduhan sosial seperti sikap intoleransi, keberingasan, ketidak sabaran, ketidak saling memahami dan seterusnya, maka kehidupan manusia akan tenggelam dalam keterancaman dan permusuhan sosial, akibatnya kehidupan sosial masyarakat yang damai, tenteram, asah asuh dan bahagia menjadi barang mahal untuk dimiliki masyarakat. Sebaliknya dengan fungsi khalifah fi al-ardh sebagai fungsi manusia qur’anik ini, meniscayakan tumbuh kembangnya perilaku penuh persahabatan, buah pikiran yang mencerahkan serta sikap etis yang menyejukkan dalam interaksi sosial kehidupan manusia. Selanjutnya meniscayakan pula suburnya kedamaian dan kebersamaan dalam perjalanan kehidupan sesama anak manusia. Bijak, bajik, santun, adil, bersabar, pemurah, penolong, peduli, adil, tidak berperilaku hedonis dan seterusnya, merupakan buah dari hasil kerja fungsi khalifah fi ardh setelah melakukan thaharah an-nas.
Hari ini kebajikan sosial etis merupakan sesuatu yang sangat krusial dan teramat penting, karena bukankah berkat kemajuan ICT dengan sejumlah aplikasi interaksi sosial yang ditawarkannya sangat meniscayakan orang perorang atau perkelompok dengan amat mudahnya berinteraksi tanpa sekat ruang dan waktu. Kemudahan berinteraksi dan bersosialisasi seperti ini, memudahkan pula lahirnya resistensi sosial yang tidak tertutup pula mudahnya meledak kegaduhan dan huruhara sosial di dalam kehidupan masyarakat. Dalam konteks seperti ini lah sejatinya dibutuhkan penguatan fungsi khalifah fi al-ardh yang berkarakter kebajikan sosial etis di dalam kehidupan masyarakat seperti diungkap di atas.
Ketiga: fungsi ‘Immarah al-Ardh: Dimaksudkan dengan fungsi ini adalah menempatkan manusia dalam berperilaku, berfikir dan bersikap kearah pengelolaan dan pegembangan alam dan segala isinya guna kemaslahatan dan kesejahteraan umat manusia. Diantara ayat al-quran yang menunjuk fungsi manusia qur’anik yang ketiga ini adalah Surah Hud ayat 61 yang berbunyi “ …Dia telah menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya…”
Fungsi immarah al-ardh manusia qur’anik ini dapat bekerja sesuai yang diinginkan Islam, diantaranya dapat dilakukan dalam bentuk apa yang disebut dengan triangular relationship, yaitu God – man – nature relationship model. Melalui model ini, relasi fungsi manusia sebagai ‘abid dan khilafah fi al-ardh serta immarah al-ardh merupakan satu kesatuan yang tak mungkin dipisahkan satu dengan lainnya. Fungsi khalifah fi al-ardh manusia qur’anik ini, dalam bekerja akan selalu terikat dengan tanggung jawabnya kepada sang Khalik sebagai ‘abid, sekaligus juga kewewenangannya mengelola dan melindungi alam yang telah diamanahkan Allah swt kepadanya sebagai realisasi fungsi immarah al-ardh manusia itu. Berbeda dengan Barat, kewewenangan manusia ke alam dengan segala isinya dilakukan dalam bentuk singular relationship model, yaitu man – nature relationship. Melalui model ini relasi fungsi manusia sebagai khilafah fi al-ardh dan alam dengan segala isinya menempatkan manusia sebagai penguasa tunggal terhadap alam dan seluruh isinya, bahkan manusia sebagai pemegang kebenaran tunggal dalam menggelola alam dan seisinya. Model relasi seperti ini meniscayakan manusia berperilaku, berfikir dan bersikap dalam bentuk sewenang-wenang, mengkalkulasi dan memanipulasi alam dengan isinya menurut selera dan keuntungan sekelompok manusia semata. Kondisi seperti ini lahir dikarenakan fungsi immarah al-ardh ini dipisahkan dari fungsi ‘abid dan khalifah fi al-ardh yang diantara muatan dasarnya pada dua fungsi manusia ini adalah pengembangan dan mengaktualisasikan sifat-sifat Allah swt yang telah dianugerahkan-Nya kepada setiap manusia dalam kehidupan senyatanya.
Melalaui “God–man–nature relationship model” seperti ini mengindikasikan bahwa tiga fungsi manusia qur’anik ini merupakan satu kesatuan, dan bila diaktualisasikan tiga fungsi ini sekaligus, meniscayakan akan melahirkan berperilaku, berfikir dan bersikap ditunaikan atas dasar ketaatan dan peribadahan kepada Allah swt sebagai bentuk realisasi fungsi ‘abid manusia qur’anik. Hal yang sama juga pada fungsi khalifah fi al-ardh dari manusia qur’anik, menjadikan interaksi sosial sesama manusia berpayung sosial etis yang karakter mengaktualisasikan sifat-sifat Allah swt dalam kehidupannya. Begitu juga fungsi imarrah al-ardh manusia qur’anik, meniscayakan pula akan lahir pengelolaan alam dan semua isinya selain untuk kebaikan dan kesejahteraan semua umat manusia, juga kebaikan dan keberlangsungan ekosistem alam itu sendiri.
Untuk saat ini fungsi immarah al-ardh manusia qur’anik sebagai pemakmur alam jagad raya, tentu menuntut manusia paling tidak memiliki kemampuan orientasi dan wawasan saintifik dan teknologik yang berkembang saat ini. Tanpa kemampuan seperti ini, fungsi ketiga manusia ini sulit tertunaikan, selanjutnya justru hanya akan menggerus dan mengkerdilkan apa-apa yang telah didapatkan dari hasil usaha fungsi dua manusia lainnya. Tegasnya berperilaku, berfikir dan bersikap saintifik dan teknologik sebagai instrument bekerjanya fungsi immarah al-ardh pada setiap fenomena alam baik fisik maupun sosial, seyogyanya diiringi pula dengan fungsi manusia qur’anik sebagai ‘abid maupun khalifah fi al-ardh.
Terkait dengan pengamalan ibadah ramadhan dan pasca ramadhan sudah saatnya ibadah-ibadah yang ditunaikan berada dalam bingkai pemberdayaan tiga fungsi manusia qur’anik ini. Ditenggarai ada ketimpangan dalam menunaikan tiga fungsi manusia ini dalam kehidupan, misalnya ditemukan perorang atau sekelompok orang lebih mengutamakan penguatan fungsi manusia qur’anik sebagai ‘abid saja misalnya, sementara fungsi khalifah fi al-ardh dan immarah al-ardh diabaikan, pada hal dua fungsi manusia qur’anik ini bila kuat justru akan membantu pelaksaan fungsi ‘abid manusia itu sendiri. Karena interaksi sosial etis sebagai karakter fungsi khalifah fi al-ardh dan pengelolaan alam dan seisinya yang berprespektif ekologis etis pada fungsi immarah al-ardh, sejatinya akan mempermudah keberlangsungan kerja fungsi ‘abid manusia ini. Misalnya dalam menunaikan ibadah mahdhah, terlebih lagi pada ranah ibadah ummah atau mu’amalah yang sejatinya berada dalam kehidupan sosial, tentu sangat membutuh dukungan fungsi khalifah fi al-ardh. Begitu pula dukungan fungsi immarah al-ardh terhadap fungsi ‘abid juga tidak dapat dipinggirkan karena fungsi manusia yang ketiga ini akan menghasilkan keharmonisan antara alam dan seiisinya dengan manusia. Konidisi seperti ini tentu akan menguntungkan fungsi ‘abid manusia ini dalam mengaktulisasikan kinerjanya.
Kedepan terutama pada masa pasca ramadhan perimbangan ketiga fungsi manusia ini seyogyanya perlu diterapkan, karena prestasi ramadhan yang telah didapat keberhasilannya teraktualisasikan pada berperilaku, berfikir dan bersikap yang lebih mengutamakan kedamaian, kesejahteraan dan kebahagiaan serta keadilan yang berbasis pada keilahian, sosial etis dan ekologis etis sebagai implementasi tiga fungsi manusia qur’anik ini, yaitu ‘abid, khalifah fi al-ardh dan immarah al-ardh. Wallahu a’lam bi shawab. Semoga…!
Pekanbaru, 26 Ramadhan 1444 H
Oleh Amril M (Guru Besar UIN Suska Riau)