web analytics

Tiga Fungsi Manusia Qur’anik dan Ramadhan

Di dalam Islam  keberadaan manusia  dalam menjalani kehidupannya  sesungguhnya diukur dari seberapa  baik kualitas fungsinya   dijalankannya  pada  posisi apapun,  baik secara  personal maupun  sosial. Bila seseorang  dapat menjalankan fungsinya sesuai  dengan yang telah diberikan kepadanya, maka orang tersebut dikatakan berhasil, Sebaliknya seseorang dikatakan gagal dalam perjalanan kehidupannya  bila  tidak mampu menjalankan fungsi yang telah dimanahkan kepadanya. Kegagalan  disini tidak saja mencederai perjalanan kehidupan dirinya secara personal, akan tetapi juga perjalanan  kehidupan sosial masyarakatnya yang sangat luas.

Perjalanan keberadaan kehidupan seseorang itu, sejatinya tidak dapat dipisahkan dari  apa yang disebut theo-sosio-ekologis yakni sebuah perjalanan kehidupan seseorang itu dikatakan baik, baik dari sisi perilaku, pikiran dan sikapnya yang  berjalan dibawah rekognisi agama dan sosial etis dan ekologial etis sebagai satu kesatuan. Tegasnya perjalanan kehidupan seseorang yang berwatak  theo-sosio-ekologis ini sesungguhnya merupakan cerminan nyata dari perilaku, pikiran dan sikapnya dalam bingkai pesan-pesan moral agama demi kebajikan sosial etis dan sosial ekologis.

Dalam perspektif  theo-sosio-ekologis  Islam,  setidaknya ada tiga fungsi  manusia yang telah diamanahkan oleh Allah swt, yaitu fungsi ‘Abid. Khalifah fi Ardh  dan Imarah al-Ardh yang bekerja secara berjalin kelindan  (Raghib al-Isfahani,1098 M). Keterjalinan kelindanan tiga fungsi   manusia  qur’anik ini niscaya  akan menghasilkan perjalanan kehidupan manusia yang taat dan tunduk pada ajaran-ajaran agama di ranah ibadah-ibadah mahdah maupun di ranah ibadah ummah atau mu’amalah yang menuntut kereativitas dan inovatif. Sedemikian rupa dari dua ranah ibadah ini niscaya melahirkan kehidupan umat manusia yang rahmatan lil’alamiin, yaitu kehidupan  umat manusia yang berkesadaran tunduk dan patuh pada semua perintah dan larangan-Nya dan berinteraksi sosial di bawah payung  sosial etis yang transformatif-etis serta berelasi produktif-etis dengan alam beserta isinya di dalam kehidupan nyata manusia.

Sebaliknya kegagalan menjalankan tiga  fungsi  manusia qur’anik ini secara bersamaan dan komprehensif, hanya akan melahirkan produk kerja yang kontra produktif, bahkan kontradiktif antara hasil karya dari masing-masing tiga fungsi  manusia qur’anik ini, sedemikian rupa  secara akumulatif perjalanan kehidupan manusia niscaya akan berada dalam suasana kepincangan dan jomblang,  bahkan produk kerja dari tiga fungsi manusia ini akan mudah berbenturan dan menyulut resistensi teologis, sosial dan ekologis.

Tiga fungsi qur’anik manusia  ini antara lain : ‘Abid, Khalifah fi al-Ardh dan Immarah al-Ardh

Pertama: Fungsi ‘Abid. Dimaksudkan dengan fungsi ini adalah menuntut setiap manusia berperilaku, berfikir dan bersikap taat dan patuh terhadap segala perintah dan larangan-Nya, dimulai dari menunaikan ajaran-ajaran Islam yang telah begitu adanya yakni ibadah pada ranah ibadat mahdah atau disebut juga ahkam syari’ah, kemudian menunaikan ibadah pada ranah ibadat ‘ammah atau disebut juga makarim syari’ah. Ibadah-ibadah pada ranah pertama secara umum dipahami bersifat dogmatis, sedangkan ibadah-ibadah pada ranah  yang kedua secara umum dipahami terkait dengan ibadah tatacara  interaksi sesama manusia dan lingkungan ekologisnya dan seumpamanya. Mengingat ibadah pada ranah kedua ini sangat luas dan bertujuan untuk memperelok ibadah pada ranah pertama, maka ia bersifat fleksibel, kreatif dan inovatif.

Untuk kepentingan tulisan ini dimaksud dengan fungsi ‘abid manusia qur’anik ini adalah melaksakan ibadah-ibadah mahdah atau ahkam syari’ah, sedangkan untuk dua fungsi manusia qur’anik lainnya, yaitu   khalifah fi al-ardh dan immarah al-ardh termasuk pada ibadah-ibadah ‘ammah/ mu’amalah atau makarim syari’ah. Pemahaman seperti ini mengindikasikan bahwa tiga fungsi manusia qur’anik ini sesungguhnya merupakan aktivitas ibadah.

Secara eksplist fungsi ‘abid manusia qur’anik ini  disebutkan dalam surah az-Zariyat ayat 56 : “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku” Fungsi manusia qur’anik ini, sesungguhnya menempatkan manusia menjadi manusia patuh dan tunduk tanpa pamrih untuk menunaikan ibadah mahdah, terkecuali ada illat yang menjadikan sebuah ibadah mahdah atau ahkam syari’ah tidak ditunaikan untuk masa dan tempat tertentu.

‘Abid sebagai fungsi manusia qur’anik  ini sesungguhnya diantaranya adalah menjaga dan  mengembangkan watak pengakuan premordial manusia yang memang telah dianugerahkan oleh Allah swt pada masa pranatalnya. Pada masa ini secara serta merta setiap anak manusia meyakini  bahwa Allah swt itu  sebagai Dzat yang unik dan tidak satu makhluk manapun menyerupai-Nya,  yang mesti disembah serta taat dan patuh terhadap semua perintah dan menjauhi larangan-Nya.

Memberikan fungsi ‘abid kepada manusia oleh Allah swt, mengindikasikan pula bahwa manusia adalah makhluk yang niscaya mampu menjalankan dua fungsi lainnya yaitu khalifah fi al-ardh dan immarah al-ardh. Dikatakan demikian bukankah ketaatan dan kepatuhan kepada Allah swt  sebagai karakter dasar pada fungsi ‘abid merupakan prasyarat dan penguatan  keberhasilan dua fungsi manusia lainnya ini. Kecuali itu, fungsi ‘abid ini akan menjadi dasar dan orientasi kerja bagi dua fungsi manusia lainnya. Sedemikian rupa berperilaku, berfikir dan bersikap  manusia yang dilahirkan  dari dua fungsi  manusia qur’anik ini niscaya akan melahirkan kebaikan dan kebajikan yang ilahiyah dalam berkehidupan personal-sosial etis dan berperadaban yang ekologial etis yang berkeadilan.

Kedua: Dimaksudkan dengan fungsi manusia qur’anik khalifah fi al-ardh adalah fungsi yang berorientasi dan mendasari berperilaku, berfikir, bersikap yang lebih mengedepankan kemaslahatan sosial etis tanpa mengurangi kemaslahatan personal etis dalam perjalanan kehidupannya. Fungsi manusia yang satu ini, diantaranya  secara eksplisit disebut pada surah  al-‘Araf ayat 129, “… dan menjadikan kamu khalifah di bumi  maka Dia akan melihat  bagaimana perbuatanmu”

Menurut  kajian etika Islam khalifah fi al-ardh  adalah manusia yang memiliki akhlak mulia yang secara potensial bersumber dari sifat-sifat Allah swt yang memang telah dianugerahkan-Nya, meskipun tidak akan pernah sama persis, kepada manusia pada masa pranatalnya. Akhlak mulia ini hidup dan berkembang dalam kehidupan manusia selama ia terus menerus melaksanakan  thaharah al-nafs terhadap tiga kekuatan jiwanya, yaitu berfikir, emosi dan syahwat. Tiga kekuatan jiwa ini dicatat juga  sebagai basis lahirnya berperilaku, berfikir dan bersikap. Jadi khalifah fi al-ardh dalam kajian khazanah etika  Islam sesungguhnya adalah sebagai penanda bahwa seseorang itu berakhlak mulia yang diaktualisasikan pada perilaku, berfikir dan bersikap yang tidak berseberangan dengan sifat-sifat Allah dalam kehidupannya.

Pemberian fungsi manusia  qur’anik yang kedua ini sesungguhnya dapat dipahami tidak saja bertujuan untuk mempertahankan tumbuh dan berkembangnya sifat-sifat mulia  ilahiyah dalam diri manusia, tetapi juga fungsi ini menempatkan manusia bertanggung jawab bagi keberalangsungan akhlak mulia dalam perjalanan kehidupannya.

Di era globalisasi saat ini penguatan fungsi manusia qur’anik  sebagai khalifah fi al-ardh sungguh sangat amat dibutuhkan, karena tidak saja semakin mudahnya interaksi sosial antara orang perorang atau antar perkelompok dalam lingkup yang lebih luas tanpa mengenal batas ruang dan waktu,  tetapi juga era ini ditenggarai oleh banyak ahli merupakan era ketidak pastian, cepat berubah dan teramat plural yang sangat mudahnya  resistensi sosial meletup dan meledak di tengah-tengah masyarakat.

Kondisi sosial seperti ini tentunya sangat menuntut kematangan sosial etis, khususnya  dalam perbuatan, berfikir dan bersikap bagi setiap individu dan kelompok dalam  perjalanan kehidupannya saat ini. Tanpa  adanya kematangan sosial etis di dalam masyarakat, maka kegaduhan sosial seperti sikap intoleransi,  keberingasan,  ketidak sabaran, ketidak saling memahami dan seterusnya, maka kehidupan manusia akan tenggelam dalam  keterancaman dan permusuhan sosial, akibatnya kehidupan sosial masyarakat yang damai, tenteram, asah asuh dan bahagia menjadi barang mahal untuk dimiliki masyarakat. Sebaliknya dengan fungsi khalifah fi al-ardh sebagai fungsi manusia qur’anik ini, meniscayakan  tumbuh kembangnya perilaku penuh persahabatan, buah pikiran yang mencerahkan serta sikap etis yang menyejukkan dalam interaksi sosial kehidupan manusia. Selanjutnya meniscayakan pula suburnya kedamaian dan kebersamaan dalam perjalanan kehidupan sesama anak manusia. Bijak, bajik, santun, adil, bersabar, pemurah, penolong, peduli, adil, tidak berperilaku hedonis dan seterusnya, merupakan  buah dari hasil kerja fungsi khalifah fi ardh  setelah melakukan thaharah an-nas.

Hari ini kebajikan sosial etis merupakan sesuatu yang sangat krusial  dan teramat penting, karena bukankah berkat kemajuan ICT dengan sejumlah aplikasi interaksi sosial yang ditawarkannya sangat meniscayakan orang perorang atau perkelompok dengan amat mudahnya berinteraksi tanpa sekat ruang dan waktu. Kemudahan berinteraksi dan bersosialisasi  seperti ini, memudahkan pula lahirnya resistensi sosial yang  tidak tertutup pula mudahnya meledak kegaduhan dan huruhara sosial di dalam kehidupan masyarakat. Dalam konteks seperti ini lah sejatinya dibutuhkan penguatan fungsi khalifah fi al-ardh yang berkarakter kebajikan sosial etis di dalam kehidupan masyarakat seperti diungkap di atas.

Ketiga: fungsi ‘Immarah al-Ardh: Dimaksudkan dengan fungsi ini adalah menempatkan manusia dalam berperilaku, berfikir dan bersikap kearah pengelolaan  dan pegembangan alam dan segala isinya  guna kemaslahatan dan  kesejahteraan umat manusia.  Diantara ayat al-quran yang menunjuk fungsi manusia qur’anik yang ketiga ini adalah Surah Hud ayat 61 yang berbunyi “ …Dia telah menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya…”

Fungsi immarah al-ardh manusia qur’anik ini dapat bekerja  sesuai yang diinginkan Islam, diantaranya dapat dilakukan dalam bentuk apa yang disebut dengan  triangular relationship, yaitu God – man – nature relationship model. Melalui model ini, relasi fungsi manusia  sebagai ‘abid dan khilafah fi al-ardh serta immarah al-ardh merupakan satu kesatuan yang tak mungkin dipisahkan satu dengan lainnya. Fungsi khalifah fi al-ardh  manusia qur’anik ini, dalam bekerja  akan selalu terikat dengan tanggung jawabnya kepada sang Khalik sebagai ‘abid, sekaligus juga kewewenangannya mengelola dan melindungi alam yang telah diamanahkan Allah swt kepadanya sebagai realisasi fungsi immarah al-ardh manusia itu. Berbeda  dengan Barat, kewewenangan manusia ke alam dengan segala isinya dilakukan dalam bentuk singular relationship model, yaitu man – nature relationship. Melalui model ini relasi fungsi manusia  sebagai khilafah fi al-ardh  dan  alam dengan segala isinya menempatkan manusia sebagai penguasa tunggal terhadap alam dan seluruh isinya, bahkan manusia sebagai pemegang kebenaran tunggal dalam menggelola alam dan seisinya. Model relasi seperti ini meniscayakan manusia berperilaku, berfikir dan bersikap  dalam bentuk sewenang-wenang, mengkalkulasi dan memanipulasi alam dengan isinya menurut selera dan keuntungan sekelompok manusia semata. Kondisi seperti ini lahir  dikarenakan fungsi immarah al-ardh ini dipisahkan dari fungsi ‘abid dan khalifah fi al-ardh  yang diantara  muatan dasarnya pada dua fungsi manusia ini  adalah   pengembangan dan mengaktualisasikan sifat-sifat Allah swt yang telah dianugerahkan-Nya kepada setiap manusia dalam kehidupan senyatanya.

Melalaui “God–man–nature relationship model” seperti ini mengindikasikan bahwa tiga fungsi manusia qur’anik ini merupakan satu kesatuan, dan bila diaktualisasikan  tiga fungsi ini sekaligus, meniscayakan akan melahirkan berperilaku, berfikir dan bersikap ditunaikan atas dasar ketaatan dan peribadahan kepada Allah swt  sebagai bentuk realisasi fungsi ‘abid manusia qur’anik. Hal yang sama juga pada fungsi khalifah fi al-ardh dari manusia qur’anik,  menjadikan interaksi sosial sesama manusia berpayung sosial etis yang karakter mengaktualisasikan sifat-sifat Allah swt dalam kehidupannya. Begitu juga fungsi imarrah al-ardh manusia qur’anik, meniscayakan pula akan lahir pengelolaan alam dan semua isinya selain untuk kebaikan dan kesejahteraan semua umat manusia, juga  kebaikan dan keberlangsungan ekosistem alam itu sendiri.

Untuk saat ini fungsi immarah al-ardh  manusia qur’anik sebagai pemakmur alam jagad raya, tentu menuntut manusia paling tidak memiliki kemampuan orientasi dan wawasan  saintifik dan teknologik yang berkembang saat ini. Tanpa kemampuan seperti  ini, fungsi ketiga manusia ini sulit tertunaikan, selanjutnya justru  hanya akan menggerus dan mengkerdilkan apa-apa yang telah didapatkan dari hasil usaha fungsi dua manusia lainnya. Tegasnya berperilaku, berfikir dan bersikap saintifik dan teknologik sebagai instrument bekerjanya fungsi immarah al-ardh pada setiap fenomena alam baik fisik maupun sosial, seyogyanya diiringi pula dengan fungsi manusia qur’anik sebagai ‘abid maupun khalifah fi al-ardh.

Terkait dengan pengamalan ibadah ramadhan dan  pasca ramadhan sudah saatnya  ibadah-ibadah yang ditunaikan berada dalam bingkai pemberdayaan tiga fungsi manusia qur’anik ini. Ditenggarai ada ketimpangan dalam menunaikan tiga fungsi manusia ini dalam kehidupan, misalnya ditemukan perorang atau sekelompok orang lebih mengutamakan penguatan fungsi manusia qur’anik  sebagai ‘abid saja misalnya,  sementara fungsi khalifah fi al-ardh dan immarah al-ardh  diabaikan, pada hal dua fungsi manusia qur’anik ini bila kuat justru akan membantu pelaksaan fungsi ‘abid manusia itu sendiri. Karena interaksi sosial etis sebagai karakter fungsi khalifah fi al-ardh dan pengelolaan alam dan seisinya yang berprespektif ekologis etis pada fungsi immarah al-ardh, sejatinya akan mempermudah keberlangsungan kerja  fungsi ‘abid manusia ini. Misalnya dalam menunaikan ibadah mahdhah,  terlebih lagi pada ranah ibadah ummah atau mu’amalah yang sejatinya  berada dalam kehidupan sosial, tentu sangat membutuh dukungan fungsi khalifah fi al-ardh. Begitu pula dukungan fungsi immarah al-ardh terhadap fungsi ‘abid  juga tidak dapat dipinggirkan karena fungsi manusia yang ketiga ini akan menghasilkan keharmonisan antara  alam dan seiisinya dengan manusia. Konidisi seperti ini tentu  akan menguntungkan fungsi ‘abid manusia ini dalam mengaktulisasikan  kinerjanya.

Kedepan terutama pada masa pasca ramadhan  perimbangan ketiga fungsi manusia ini seyogyanya perlu diterapkan,  karena prestasi ramadhan yang telah didapat keberhasilannya teraktualisasikan pada berperilaku, berfikir dan bersikap yang lebih mengutamakan kedamaian, kesejahteraan dan kebahagiaan serta keadilan yang berbasis pada keilahian, sosial etis dan ekologis etis sebagai implementasi  tiga fungsi manusia qur’anik ini,  yaitu ‘abid, khalifah fi al-ardh dan immarah al-ardh. Wallahu a’lam bi shawab.  Semoga…!

Pekanbaru, 26 Ramadhan 1444 H

Oleh Amril M (Guru Besar UIN Suska Riau)