web analytics

Terorisme “Anak Kandung” Radikalisme

uin-suska.ac.id – Kamis (1/9/2016) kuliah umum UIN Suska Riau Tahun ajaran 2016/2017 digelar. Sejak pagi Ribuan mahasiswa tampak telah berbondong-bondong mengantri di pintu masuk gedung PKM UIN Suska Riau. Mereka terlihat antusias mengikuti Kuliah Umum Perdana bersama Direktur Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) RI, Prof Dr Irfan Idris, M.A dengan tema “Menangkal Radikalisme Kampus”.

Dalam orasinya yang penuh semangat, Prof Dr Irfan Idris, MA mengungkapkan, kemunculan terorisme tak terlepas dari ibu kandungnya Radikalisme. Namun bukan berarti Radikal itu jelek. “Radikal itu bagus, bahkan mahasiswa harus berpikir radikal” ungkap guru besar UIN Makasar itu. Pada prinsipnya ada tiga ciri berpikir radikal. Pertama, obyektif tidak merasa dirinya benar, kedua sistematis sesuai aturan, dan ketiga universal berpikir global.

Hanya saja dalam menanggulangi radikalisme perlu memahami Radikal, Radikalisasi, Radikalisme, Radikal terorisme dan Deradikalisasi. Hal ini penting untuk keseimbangan mihdset dan perilaku. Dimana perilaku tak hanya berdasarkan semangat yang melangit, namun pemahaman rendah. Ungkap Irfan Idris

Lebih lanjut Irfan Idris mengungkapkan, Radikalisasi sendiri sebenarnya merupakan proses menciptakan mahasiswa yang lebih kritis, unversal obyektif dan sistematis. Bukan anarkis bukan pendemo, bukan perusak kampus, bukan memprovokasi teman.

Sedangkan Radikalisme menjadi negatif ketika menjadi sebuah paham yang ingin melakukan perubahan dengan cepat melaui pemaksaan yang tak sesuai kondisi, dan cenderung menggunakan kekerasan anarkis. “Bahkan yang paling parah saat ini, dengan mengatasnamakan agama” ujar Irfan Idris.

Inilah yang kemudian memunculkan perilaku permusuhan, menghalalkan darah orang lain. Padahal Allah sendiri tak pernah menganjurkan demikian. Bahkan tak ada satu agama pun yang mengajarkan kekerasan. Rasullah sendiri diutus untuk menyempurnakan akhlak, bukan menyempunakan pandangan atau memaksakan tafsiran. Hal inilah yang perlu diantisipasi, Radikalisme memaksakan kehendak, mengatanamakan agama.

Disi lain Irfan Idris engungkapkan, dari penelitian yang dilakukan Wahid Foudation dan Lembaga Survei Indonesia (LSI) ditahun 2016 ini, dari 1500 responden mahasiswa Islam di 34 propinsi di Indonesia, 59,9 persen justru simpati pada cara-cara radikalisme.

Mahasiswa memang jadi sasaran empuk menanamkan paham radikal. Caranya bisa dengan menyusup pada organisasi-organisasi seperti Lembaga Dakwah Kampus. Disitulah mereka menyebar virus. Mulai dari mencercoki pikiran mahasiswa dengan menyoroti kekurangan-kekurangan kampus, menyalahkan pimpnan sampai pada mengkafirkan pimpinan. Setelah mencercoki pikiran barulah dimasukkan paham-paham agama.Memang tak ada yang salah dengan paham-paham agama, tapi yang tak benar adalah tafsirannya dengan menyetel ayat-ayat tertentu. Inilah yang kemudian memunculkan bom bunuh diri.

Pada prinsipnya Teroris memiliki dua kriteria. Pertama, memaknai jihad secara terbatas. Kedua mengkafirkan orang lain. “Bisa saudara sendiri, bahkan orang tua sendiri dikafirkan”. Ungkap Irfan Idris.

Terakhir, Deradikalisasi yang merupakan satrategi pemerintah dalam menghadapi radikalisme. Salah satunya dengan pembentukan BNPT.

Sebagai mahasiswa, Irfan berpesan jangan belokkan visi anda. Kriteria mhasiswa UIN, itu harus memiliki perilaku sikap tatakrama yang santun. Bisa berbeda pendapat, tapi harus menghargai pandangan dan pendapat lain. “Tugas kita membumingkan nilai-nilai Islam. Islam rahmatan lil alamin, betapa banyak ajaran islam cinta sesama mahluk.” ungkap Irfan Idris.

Oleh karena itu dalam bernegara, Irfan Idris lebih cenderung dengan sikap Muhammad Nasir. “Jadikanlah Islam itu seperti garam. Tak tampak dalam masakan, namun sangat penting mempengaruhi rasa. Tidak seperti gincu, yang sangat mempengaruhi bentuk, namun tak berasa” ungkap Irfan Idris.

Khilafah merupakan istilah suci, jangan salah gunakan. Khilafah adalah pemeritahan, indonesia sudah punya khilafah yakni repubik. Di indonesia syariat islam sudah ditetapkan, sudah diberlakukan yang tak perlu, memformalisasikan syariat islam. Indonesia bukan negara islam tapi negara beragama yang mengakui orang beragama.

Sementara itu Rektor UIN Suska Riau, Prof Dr H Munzir Hitami, MA dalam sambutannya menyampaikan, berdasarkan penelitian yang dilakukan di beberapa UIN di Indonesia baru-baru ini, 26 persen mahasiswa setuju jika jihad dilakukan dengan mengangkat senjata.”Ini merisaukan kita, adek-adek disini untuk menuntut ilmu, bukan untuk perang mengangkat senjata”. Ujar Munzir Hitami.

Lebih lanjut Munzir Hitami mengungkapkan, organisasi penting tapi jangan jadikan tujuan. Sebab tujuan pokok mahasiswa adalah menuntut ilmu. Mengisi dada, memuat akal dan pikiran kita, dengan ilmu yg bermanfaat bagi diri, keluarga masyarakat, negara dan umat. “kami generasi yang akan berlabuh, adek-adeklah yang akan meneruskannya. Sebagai pendidik, Kalau kami tak berhasil mendidik generasi yang lebih baik dari kami, berarti kami gagal” ungkap Munzir Hitami.

Jadi tak salah kalau mahasiswa lebih baik dari dosennya. Untuk itu dalam perkuliahan jangan malu bertanya, jangan malu berdiskusi . bahas pokok perkuliahan setuntas-tuntasnya dengan dosen. Kami akan sedih sekali kalau mahasiswa gagal. “jangan bercita-cita kuliah sampai semester 14. Sebab bagi mahasiswa semester 14 yang tak selesai sampai 31 Agustus, dinyatakan Drop Out (DO). Jadi Pasang niat dengan ikhlas untuk meunut ilmu, membekali diri menghadapi kehidupan selanjutnya. Himbau Rektor yang pada kesempatan tersebut, sekaligus membuka acara perkuliahan perdana UIN Suska Riau TA 2016/2017 secara resmi.***

Penulis: Suardi

Tim liputan Suska News (Donny, Azmi, PTIPD)

 

redaksi@uin-suska.ac.id